Tafsir Surat As-Sajdah[32]: 18
Tafsir Surat As-Sajdah[32]: 18
أَفَمَن كَانَ مُؤْمِنًا كَمَن كَانَ فَاسِقًا ۚ لَّا يَسْتَوُونَ
“Maka, apakah orang mukmin seperti orang fasik (keluar dari ketaatan kepada Allah swt.)? (Pasti) mereka tidak sama!”
“Maka, apakah orang mukmin seperti orang fasik (keluar dari ketaatan kepada Allah swt.)? (Pasti) mereka tidak sama!”
Munasabah
Telah dijelaskan pada ayat-ayat yang lalu tentang gambaran
orang-orang kafir (ayat 12-14) dimana dalam ayat tersebut para pendurhaka atau
orang-orang fasik menyesali perbuatan mereka dihadapan tuhan, lalu mereka minta
kepada Allah swt. agar mereka dikembalikan ke dunia guna memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat. Namun, penyesalan mereka tidak
akan berguna lagi, bahkan Allah menghardik mereka dan menyiksa para pendurhaka
itu dengan neraka jahannam. Hal disebabkan mereka tidak percaya dengan Hari
Kiamat serta kelanjutannya yang abadi, sehingga mereka tidak melakukan
persiapan-persiapan guna menghadapi hari yang sangat sakral tersebut.
Setelah menjelaskan tentang keadaan orang-orang kafir, maka di ayat
selanjutnya (ayat 15-17) Allah swt. menjelaskan tentang keadaan dan ciri-ciri
orang mukmin. Beberapa ciri orang mukmin yang terdapat ayat-ayat diatas:
beriman kepada ayat-ayat Allah, beribadah kepada Allah serta tidak
menyombongkan diri dan lain-lain. Maka Allah swt. memberikan ganjaran kepada
mereka berupa ganjaran berupa kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata,
terdengar oleh telingan dan belum pernah terbesit dalam hati manusia.
Asbab an-Nuzul
Mengenai asbab an-nuzul ayat 18 Muhammad Ali ash-Shabuni dalam
kitabnya Shafwah At-Tafasir beliau menjelaskan ayat ini turun berkenaan dengan
pertengkaran dan permusuhan antara Ali bin Abu Thalib dengan Uqbah bin Abu
Mu’ith. Maka Al-Walid bin Uqbah bin Abu Mu’ith berkata kepada Ali: “Diamlah,
sungguh kamu masih anak-anak, aku demi Allah lebih terampil lidahnya daripada
kamu, lebih berani daripada kamu, dan lebih memenuhi barisan berkuda”. Kemudian
Ali berkata kepadanya: “Diamlah sesungguhnya kamu orang fasiq”. Maka turunlah
ayat: “Maka, apakah orang mukmin seperti orang fasik (keluar dari ketaatan kepada Allah swt.)? (Pasti) mereka tidak sama!”
Diriwayatkan pula oleh Al-Wahidi dan Ibnu ‘Asakir, dari Sa’id bin
Jubair, yang bersumber dari dari Ibnu Abbas. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir
yang bersumber dari ‘Atha binYasar. Diriwayatkan pula Ibnu ‘Adi dan al-Kathib
di dalam Tarikhnya, dari al-Kalbi, dari Abu Shalih, yang bersumber dari Ibnu
Abbas bahwa al-Walid bin Uqbah bin Abu Mu’ith berkata kepada Ali bin Abu
Thalib: “Mata tombak kami lebih tajam daripada tombakmu, lidah kami lebih
lancar daripada lidah kamu, dan anak buah kami lebih banyak dari pada anak
buahmu.” Ali menjawab: “Tutup mulutmu. Sesungguhnya kamu orang fasik.” Ayat ini
(as-Sajdah[32]: 18) turun berkenaan dengan dengan peristiwa tersebut yang
menegaskan bahwa orang fasik tidak sama dengan orang mukmin.
Analisis linguistik
Ayat tersebut diawali dengan huruf hamzah. Muhyiddin ad-Darwis
dalam kitabnya I’rob al-Qur’an al-Karim mengatakan bahwa hamzah tersebut adalah
untuk menunjukan makna istifham inkary. Dalam kaidah tafsir yang dimaksud
dengan istifham inkary adalah mempertanyakan sesuatu yang buruk,
sedangkan keburukannya itu sebenarnya telah diakui oleh yang ditanya, jika ia
sadar, dan sebenarnya pertanyaan seperti ini tidak memerlukan adanya jawaban.
Namun dalam ayat ini Allah swt. memberikan jawaban, hal ini menunjukan bahwa
antara orang yang mukmin dan fasik memang berbeda. Bahkan Qatadah dalam tafsir
al-Mawardi ketika menafsiri kata (لاَيستوون) beliua samapai berkata:
“Demi Allah tidaklah sama (antara orang mukmin dan orang fasik) baik ketika di
dunia, ketika meninggal ataupun ketika di akhirat kelak.”
Kemudian ada suatu kata lagi yang menarik untuk dikaji yakni kata (فسقا). Kata ini terambil dari
kata (فسق) yang dalam bahasa arab itu biasa
digunakan untuk menunjukan keluarnya/terkelupasnya kulit buah yang sudah
matang. Quraisy Shihab dalam tafsirnya berkata: “Seorang yang keluar dari
koridor agama juga dinamai fasiq kendati demikian ia tetap mengaku
beriman dan mengucapkan dengan lidahnya dua kalimat syahadat, dan lebih-lebih
lagi yang tidak mengakui. Sebenarnya kata (فسق) ini masih dalam bentuk
umum dimana didalamnya masih termasuk kafir dan munafik. Oleh karenanya, ketika
orang melakukan kekufuran atau berbuat kemunafikan maka ia akan menjadi orang
yang melakukan kefasikan. Jika melihat asbab an-nuzul maka yang dimaksud fasik
adalah ‘Uqbah bin Abu Mu’ith. Dia adalah orang kafir yang selalu memusuhi
Nabi dan selalu ingin mencelakakannya.
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya: ayat ini (Q.S. as-Sajdah
[32]:18) menjelaskan tentang keadilan dan kemuliaannya, bahwasanya di hari
kiamat nanti Allah swt. tidak akan menyamakan hukuman bagi orang yang beriman
kepada ayat-ayat-Nya dan mengikuti petunjuk rasul-rasul-Nya dengan orang fasik,
yaitu orang yang keluar dari jalur ketaatan kepada tuhannya dan mendustakan
petunjuk rasul-rasul-Nya. Lihat (Q.S. Al-Jatsiyah [45]: 21, Q.S. Shaad [38]:
28, Q.S. Al-Hasyr [59]: 20)
Sedangkan Muhammad Ali ash-Shobuni dalam kitabnya Shafwah
at-Tafasir menjelaskan bahwa tidaklah sama antara orang yang ketika di dunianya
beriman dan bertaqwa kepada Allah dengan orang fasik yang keluar dari ketaatan
kepada Allah swt. Begitu juga di akhirat kelak, Allah tidak akan menyamakan
balasan dan kemuliaan antara yang mukmin dan yang fasik sebagaimana tidak
samanya ketaatan dan ibadah mereka di dunia. Sebagaimana firman Allah dalam
surat al-Qalam [68]: 35
افنجعل المسلمين
كالمجرمين
“Maka apakah
patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang
berdosa (orang kafir)?”
Dalam ayat tersebut ketika menyebutkan orang mukmin dan orang fasik
Allah menggunakan lafadz bentuk tuggal yakni (مؤمنا) dan (فاسقا) tidak dengan bentuk
jamak, hal ini menandakan bahwa di akhirat kelak Allah akan memberikan balasan
itu secara perorangan bukan secara perkelompok. Mengapa pula ketika menyebut
orang beriman dalam ayat ini Allah menggunakan kata (مؤمنا) tidak dengan امنو padahal memiliki makna
yang sama. Hal ini disebabkan karena ketika menggunakan kata امنو belum tentu ia مؤمنا , namun ketika
menggunakan kata مؤمنا pasti dia telah beriman. Kalau menggunakan
kata امنو orang yang beriman tersebut masih
membutuhkan perintah dalam menjalankan kewajiban dan meninggalkan kemaksiatan
setelah ada larangan dan mereka masih berupaya menyempurnakan imannya. Adapaun
yang menggunakan lafadz مؤمنا maka orang tersebut tidak perlu diperintah
lagi untuk mengerjakan kebaikan dan tidak lagi perlu larangan untuk
meninggalkan kemaksiatan. Orang tersebut (مؤمنا) adalah seorang yang
beriman yang memiliki kualitas keimanan yang sempurna.
Dari penjelasan di atas kiranya bisa disimpulkan bahwasanya antara
orang mukmin dan orang fasik tidaklah sama. Ketika di dunia maka orang yang
beriman akan menggunakan segala sesuatu yang telah di berikan Allah untuk senantiasa
mengerjakan ibadah dan amal-amal sholeh, sehingga kelak diakhirat kelak mereka
akan mendapatkan balasan berupa kenikmatan yang tiada duanya. Sedangkan orang
fasik yang ketika di dunianya keluar dari jalan ketaatan kepada Allah maka
mereka akan mendapatkan balasan berupa siksaan yang sangat pedin. Wallahu
a’lam bishshawab
Komentar
Posting Komentar