MUHKAM DAN MUTASYABIH



Pengertian Al-Muhkam Al-Mutasyabih
                                                                      
     Kita mulai pada pengertian dari segi Etimologi kata al-Muhkam berasal dari ahkama, yuhkimu, ihkiaman yang memiliki makna  keakuratan, kokoh dan ketelitian. Namun jika ada ungkapan hakamtu dan ahkamtu umumnya bermakna dihalangi dan dan mencegah. Dengan demikian dapatkita pahami jika seseorang menghalangi seseorang untuk membuat kedzaliman maka orang tersebut disebut hakim. Sementara pengertian dari al-Mutasyabih dari segi etimologi atau bahasa berasaldari kata tasyabaha, yatasyabaha, tasyabuhan, yang berarti mirip atau adanya kesamaan dari dua benda atau sesuatu.[1]
Sedangkan secara terminology, ada yang mengartikan bahwa al-Muhkam adalah ayat-ayat yang diketahui maksud, penjelasan dan takwilnya. Sedangkan al-Mutasyabih adalah  ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui maknanya, seperti kapan terjadinya hari kiamat, dajal, maupun seputar huruf-huruf yang berada di awal surah. Ada juga yang berpendapat muhkam sebagai ayat yang jelas maksudnya, sedangkan mutasyabih sebaliknya.ada pula yang berpendapat al-muhkam sebagai ayat-ayat yang ditakwil dari satu segi sedangkan al-Mutasyabih ditakwil dari beberapa segi.[2]
Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan Muhkam dan Mutasyabih dalam buku studi Ilmu-Ilmu Qur’an, bahwa menurut bahasa Muhkam berasal dari kata “Hakamtu dabbah wa ahkamtu” yang artinya “saya menahan binatang itu”, juga bisa diartikan,”saya memasang ‘hikmah’ pada binatang itu”. Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali yang dipasang pada leher, sebab ia berfungsi untuk mengendalikannya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas. Muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan, jadi kalam Muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari 2 (dua) hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain, karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Jadi, tasyabuh Al-Kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagainya membetulkan sebagian yang lain.[3] Ini adalah pengertian secara umum, sedangkan terdapat dalam al-quran ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih yang dimaknai secara khusus, sebagaimana firman Allah, (Ali Imran[3] :7)

Dalam defenisi muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang di antaranya yaitu[4] :
·         Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih maksudnya hanya diketahui oleh Allah.
·         Muhkam hanya mengandung satu segi, sedangkan mutasyabih mengandung banyak segi.
·       Muhkam adalah ayat yang diketahui maksudnya secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak demikian, ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.
Sedangkan menurut terminologi muhkam dan mutasyabih diungkapkan

para ulama, seperti berikut ini :
·         Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melalui takwil ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqatha’ah. (Kelompok Ahlussunnah)

·         Mayoritas Ulama Ahlul Fiqh yang berasal dari pendapat Ibnu Abbas mengatakan, lafadz muhkam adalah lafadz yang tak bisa ditakwilkan melainkan hanya satu arah/segi saja. Sedangkan lafadz yang mutasyabbih adalah lafadz yang bisa ditakwilkan dalam beberapa arah/segi, karena masih sama (semakna-red).[5]
Dari pengertian-pengertian ulama diatas, sudah dapat disimpulkan bahwa inti pengertian dari ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat muhkam itu nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas) dan zhahir (makna lahir). Adapun pengertian dari ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabih adalah mujmal (global), mu’awwal (harus ditakwil), musykil, dan mubham (ambigius).
            Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, tentang halal haram, hudud, kewajiban, janji, dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih dengan ayat-ayat mansukh, dan nama serta sifat-sifat Allah, antara lain: Q.S. Thaha[16]: 5: “Ar-Rahman itu bersemayam di atas Arsy”, Q.S. Ali Imran[3]: 31:”Maka ikutilah aku, niscahya Allah akan mencintaimu”.

Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Al-Mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Sumber perbedaan mereka terdapat dalam pemahaman struktur kalimat pada QS. ‘Ali Imran[3] : 7. Dalam memahami ayat tersebut, muncul dua pandapat. Yang pertama, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm di-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazh yaaquluna sebagai hal. Itu artinya, bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalami ilmunyaYang kedua, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm sebagai mubtada’ dan yaaquluna sebagai khabar. Itu artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih hanya diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang yang mempelajari ilmunya hanya mengimaninya. .[6]
            Dalam buku ulumul qur’an Syaikh Manna Al-Qaththtan dijelaskan pula bahwa perbedaan ini berpangkal pada masalah waqaf (berhenti) dalam ayat ”Wama ya’lamu ta’wilahu illallah, war-rasikhuna fil’ilmi yaquluna amanna bihi”. Apakah kedudukan lafadz ini sebagai huruf istifnaf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafadz “Wama ya’lamu ta’wilahu illa Allah”, ataukah ia ma’thuf? Sedang lafadz “wayaquluna” menjadi hal dan waqafnya pada lafadz “warrasikhuna fil ‘ilmi”.
            Pendapat pertama mengatakan “Istinaf”. Pendapat ini didukung oleh sejumlah tokoh seperti Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, sejumlah sahabat, tabi’in dan lainnya. Mereka beraslasan antara lain dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak-nya, bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca; “Wama ya’lamu ta’wilahu illa Allah, wa ar-rasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi”.
            Pendapat kedua, menyatakan bahwa “wawu” sebagai huruf athaf. Ini dipilih oleh segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid. Pendapaat ini juga dipilih oleh Imam An-Nawawi, didalam Syarah Muslim, ia berkata, “Pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah mengkhitabi hamba-hambaNya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.”[7]
Sedang Ar-raghib Al-Ashfahany mengambil jalan tengah dalam masalah ini.

Beliau  membagi  mutasyabih  dari  segi  kemungkinan  mengetahuinya  menjadi  tiga

bagan:

1.      Bagian yang tak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari kiamat.

2.      Bagian manusia menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafadz-lafadz yang ganjil, sulit difahami namun bisa ditemukan artinya.

3.      Bagian yang terletak di antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh

Ulama’ yang mumpuni saja.[8]

 Kompromi dua pendapat dengan memahami makna takwil

Dengan merujuk kepada makna takwil maka dua pendapat di atas tidak mengalami pertentangan, karena lafaz takwdigunakan untuk menunjukkan 3 makna :
1.    Memainkan sebuah lafaz dari makna yang kuat(rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada satu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang dimaksud ulama mutaakhirin.
2.    Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan) yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafaz-lafaz agar maknanya dapat dipahami.
3.    Takwil adalah pembicaraan tentang substansi (hakekat) suatu lafaz. Maka takwil tentang zat dan sifat-sifat Allah ialah hakekat zatnya yang kudus dan hakekat sifat-sifatnya.

 Takwil yang tercela
Takwil yang tercela adalah takwil dengan pengertian memalingkan lafaz dari makna rajih kepada marjuh karena ada dalil yang menyertainya. Takwil semacam ini banyak digunakan oleh sebagian ulama mutaakhirin secara berlebihan untuk lebih memahasucikan Allah SWT dari keserupaan dengan makhluknya seperti yang mereka sangka. Dugaan ini sungguh bathil karena dapamenjatuhkan mereka kedalam kekhawatiran yang sama dengan yang mereka takuti, bahkan lebih buruk. Misalkan ketika menakwilkan “tangan” (al yad) dengan kekuasaan (al qudrah). Maksud mereka adalah untuk menghindarkan penetapan tangan bagi Allaah mengingat makhluk pun memiliki tangan.

 Macam-Macam Mutasyabbih
Ulama membagi ayat mutasyabbihat dalam pengertian terminologi,bila ditinjau dari sisi jangkauan pengetahuan manusia terhadap maknanya:
1.      Ayat-ayat yang sama sekali tidak dapat diketahui sekian banyak aspeknya ,seperti ayat ayat yang berbicara tentang persoalan-persoalan metafisiska,misalnya api neraka atau sifat-sifat Allah SWT. Apakah api neraka itu berupa gelombang-gelombang panas sebagaimana di isyaratkan oleh firmanNya:
لهمْ منْ فوْقهمْ ظلل من النار ومن تحتهمْ ظلل                                                       
Di atas mereka ada naungan-naungan dari api neraka dan di bawah mereka pun ada naungan-naungan” (QS. Az-Zumar: 16)

Atau ia serupa dengan api dunia,hanya saja derajat kepanasannya sangat tinggi,tetapi seperti api duniawi,yakni dia juga memerlukan bahan bakar sebagaimana bisa difahami dalam firmanNya
maka jika kamu tidak dapat membuat (semacam al-Quran) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), maka peliharalah diri kamu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.”(Q.S.Al-baqarah:24)

2.      Ayat-ayat yang samar namun dapat diketahui oleh orang yang bersungguh-sungguh menelitinya,seperti ayat-ayat yang menggunakan kosa kata yang gharib/tidak populer, kosa kata yang bersifat ambigu seperti kata Quru’ atau kata Ma’ruf dalam tuntunan-Nya menyangkut penggunaan harta anak yatim bagi wali sang anak.
Sebagaimana dalam QS.An-Nisa:4
ومن كان فقيرا فلياكل بلمعروف                                                                         
siapa (dari para wali) yang miskin maka hendaklah ia makan (gunakan) harta anak yatim yang dalam pengelolaannya dengan ma’ruf”

3.      Ayat-ayat yang hanya diketahui oleh para ulama yang sanagat mantap pengetahuannya dan dengan melakukan pencucian jiwa. Ayat-ayat semacam ini tidak tidak terungkap maknanya hanya dengan menggunakan nalar semata-mata.Mereka itulah yang diistilahkaan QS.An-Nisa:162
الر سخون فى العلم                                                                                    
Rasikhun fi al-ilm
Pembagian diatas tidak sepenuhnya dapat diterima oleh sementara                                           ulama,karena mereka menilai bahwa penyebab mutasyabbih bukannya akibat jelas atau tidaknya, panjang atau singkatnya uraian tentang makna, tetapi mutasyabbih memiliki faktor yang melekat pada teks, kemudian menjadi jelas, maka ini tidak dapat dinamai mutasyabbih, kecuali dengan menoleransi istilah ini dan memahaminya dengan pengertian khusus yang dimaksud oleh Al-Quran.
Disisi lain, kalau semua yang tadinya tidak jelas,lalu dengan penelitian dia menjadi jelas, atau yang mengandung aneka makna yang kesempurnaannya dapat benar, kalau yang semua demikian itu, dinamai Mutasyabbih secara terminologi Qur’ani, maka ini dapat mengantar seseorang untuk berkata bahwa: Kebanyakan ayat-ayat Al-Quran Mutasyabbih bukanlah kebanyakan ayat-ayat Al-Quran maknanya tidak pasti.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang Mutasyabbih hanyalah ayat-ayat yang samar maknanya atau tidak diketahui maknanya,walau telah dibahas dan diteliti. [9]

 Faedah Ayat-Ayat Muhkamat dan Ayat-Ayat Mutasyabihat

Dalam pembahasan ini perlu dijelaskan faedah atau hikmah ayat-ayat muhkam

1)            lebih dahulu sebelum menerangkan faedah ayat-ayat mutasyabihat. Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat

a)      Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.

b)      Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.

c)      Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.

d)     Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.

2)             Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat

  1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
  2. Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.

  1. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

  1. Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.

  1. Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.[10]


[1] Ainun Najib, Konsep al-Muhkam dan al-Mutasyabih, (young progressif muslim,2016), cet.1, hlm 73.
[2] Rusydie Anwar,Ulumul quran dan hadis, ( Yogyakarta: Ircisod, 2015), cet.1, hlm 106.
[3] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), hal. 264-265.
[4] Ibid, hal. 266.
[5] Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), hal. 239.
[6] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung:Pustaka Setia,2004), hal. 128.
[7] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), hal. 267-268.
[8] Abd. Hadi, Pengantar Study ilmu-Ilmu Al-Quran, (Surabaya: Graha Pustaka Islamic Multimedia, 2010), 222

[9]M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir. (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 213-215.
[10] Abdul Djalal, Abdul, Ulumul Quran. (Surabaya: Dunia Ilmu,2008)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Term Dalam Logika

Tafsir bir Ra'yi

ALAM KUBUR DALAM PERSPEKTIF HADIS