ALAM KUBUR DALAM PERSPEKTIF HADIS
Pembicaraan
tentang kematian memang bukan merupakan perkara yang menyenangkan, pada
umumnya. Bahkan mungkin hampir seluruh manusia ingin memiliki masa hidup yang
lama, umur yang panjang untuk bisa berada di dunia ini. Kesenangan hidup di
dunia menjadikan kita buta akan kehidupan manusia yang hakiki yaitu kehidupan
setelah mati. Kehidupan yang sebenarnya inilah yang menjadikan manusia takut terhadap
kematian, seperti contohnya tidak tahu apa yang akan dihadapi setelah mati,
mungkin juga menduga bahwa yang dimiliki sekarang lebih baik atau mungkin juga
membayangkan betapa sulit dan pedihnya pengalaman mati dan sesudah mati.
Ketika manusia
telah mati, jasadnya dimasukkan ke dalam sebuah liang yang panjangnya tak lebih
dari dua meter, dan lebarnya tak lebih dari satu meter. Liang tersebut disebut
liang kubur. Setelah melalui perjalanan waktu yang lama, jasad yang ditanam di
liang kubur akan membusuk, hancur lebur, dan berkalang tanah. Setalah masa tiga
puluhan tahun, jasad tersebut boleh jadi telah menjadi debu, tanpa ada sepotong
tulang dan secuil daging pun.
Maka sepatutnya
kita harus menyadari betapa singkatnya kehidupan di dunia ini. Kita harus
selalu ingat bahwa semua perbuatan kita akan diminta pertanggungjawabannya oleh
Allah swt.
A.
Kedudukan Seseorang dalam Kubur
Ketika manusia telah
mati, jasadnya dimasukkan ke dalam sebuah liang yang panjangnya tak lebih dari
dua meter, dan lebarnya tak lebih dari satu meter. Liang tersebut disebut liang
kubur. Setelah melalui perjalanan waktu yang lama, jasad yang ditanam di liang
kubur akan membusuk, hancur lebur, dan berkalang tanah. Setalah masa tiga puluhan
tahun, jasad tersebut boleh jadi telah menjadi debu, tanpa ada sepotong tulang
dan secuil daging pun. Hal ini berlainan dengan
keadaan ruh yang telah berpisah dengan jasad tersebut. Ruh akan memasuki sebuah
alam kehidupan baru, yang lain dengan kehidupan sebelumnya. Ruh berada di sebuah alam yang tidak termasuk alam dunia, pun tidak termasuk
alam akhirat. Alam baru tersebut dinamakan
alam „barzakh‟. Alam barzakh
adalah sebuah alam gaib, yang
hanya diketahui oleh Allah semata. Manusia sama sekali tidak memiliki
pengetahuan tentang itu. Melalui Al-Qur’an dan Hadis-lah diketahui bahwa
kehidupan di alam barzakh berlangsung sejak ruh dan jasad pada hari kiamat.
Setiap ruh yang sholeh semasa hidupnya di dunia, akan menerima kenikmatan di
alam barzakh sampai hari terjadinya kiamat. Demikian pula, setiap ruh yang
kufur dan banyak dosa semasa hidup di dunia, akan menerima siksa di alam
barzakh sampai hari terjadinya kiamat.[1]
Hal ini sebagaimana digambarkan oleh
Rasulullah saw dalam sabdanya:
حدثنا إسماعيل قال حدثني مالك عن نافع عن
عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن أحدكم إذا
مات عرض عليه مقعده بالغداة والعشي إن كان من أهل الجنة فمن أهل الجنة وإن كان من
أهل النار فمن أهل النار فيقال هذا مقعدك حتى يبعثك الله يوم القيامة
Diriwayatka dari Abdullah bin Umar R.A, bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Sesungguuhnya apabila salah seorang di antaa kalian meninggal
dunia, maka ditampakan kepadanya tempat duduknya pagi dan sore hari. Apabila ia
termasuk penghuni surga, maka ia termasuk penghuni neraka, dan apabila ia
termasuk penghuni neraka, maka ia termasuk penghuni neraka. Dikatakan, ‘Ini
tempat dudukmu hingga Allah membangkitkanmu pada hari kiamat.”(H.R. Bukhari)[2]
Dalam bab ini
disebutkan hadits Ibnu Umar, “Sesungguhnya apabila salah seorang di anatara
kalian meninggal, maka ditampakkan kepadanya tempat duduknya pagi dan sore hari”.
Ibnu At-Tin berkata, “Kemungkinan ditampakkannya tempat duduk itu terjadi pada
suatu pagi dan sore hari. Sedangkan makna ‘hingga Allah membangkitkanmu’,
yakin engkau tidak akan sampai kepadanya hingga dating hari kebangkitan. Tapi
ada pula kemungkinan bahwa hal ini terjadi pada setiap pagi dan sore hari, dan
ini mesti dipahami bahwa sebagian mayit tersebut dihidukan sehingga dapat
diajak berbicara serta ditampakkan sesuatu kepadanya.
Imam Al-Qurthubi
berkata, “Ada kemungkinan hal itu ditampakkan kepada ruh saja, dan bisa juga
ditampakkan kepadanya bersama sebagain badan”. Dia juga berkata, “Maksud pagi
dan sore hari’ adalah waktu bagi keduanya, sebab bagi orang-orang yang
telah meninggal dunia tidak ada lagi bagi mereka pagi dan sore hari”. Beliau
melanjutkan, “Kaitan perkara ini dengan orang-orang muslim dan orang-orang kafir
cukup jelas. Adapun orang mukmin yang ikhlas, tidak tertutup kemungkinan hal
ini berlaku baginya, karena ia masuk surga secara garis besarnya. Kemudian
dikecualikan darinya para syuhada, karena ruh-ruh mereka tetap hidu beterbangan
di surga. Tapi ada pula kemungkinan untuk dikatakan, sesungguhnya manfaat
ditampakkannya tempat duduk di surga kepada para syuhada adalah untuk memberi
kabar gembira kepada tuh-tuh mereka bawa ruh-ruh tersebut akan menetap si surga
bersama jasad-jasadnya, karena yang demikian memiliki nilai tambah atas keadaan
mereka saat ini.”
(apabila ia
penghuni surge, maka termasuk penghuni surga). Terjadi kesamaan antara
kalimat syarat dan kalimat pelengkap, oleh sebab itu perlu kalimat sisian untuk
menyempurnkan maknanya. At-Turabisyiti berkata, “Kalimat seharusnya adalah;
‘Apabila ia termasuk penghuni surge, maka tempat duduknya termasuk
tempat-tempat duduk para penghuni surga dan ditampakkan kepadanya’.” Sementara
At-Thahabi berkata, “Apbila kalimat syarat dan kalimat pelengkap mengalami
kesamaan dari segi lafazh maka hal itu menunjukan besarnya persoalan, dan yang
dimaksud disini ada seseorang akan melihat karena kemuliaan Allah SWT setelah
kebangkitan yang membuatnya melupakan tempat duduk ini.”
Kemudian pada
hadist di bab ini terdapat keterangan adanya adzab kubur, dan sesungguhnya ruh
tidak mengalami kefanaan di saat jasad mengalami kefanaan, karena proses
penampakan itu tidak berlangsung kecuali terhadap sesuatu yang hidup. Ibnu
Abdul Barr berkata, “Hadits ini dijadikan dalil bahwa ruh-ruh berada di
tepu-tepi kuburan”. Kemudia beliau berkata, “Adapun maknanya menurut pendapatku
bahwa ruh-ruh berada di tepi-tepi kuburan, bukan berarti mereka tidak pernah
meninggalkan tempat tersebut. Bahkan keadaan ruh-ruh itu seperti yang dikatakan
oleh Imam Malik, yaitu terbang kemana ia sukai.”[3]
B.
Azab Kubur dalam Perspektif Hadis
Kata “Azab” dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti siksa Tuhan yang diganjarkan kepada manusia yang meninggalkan
perintah dan melanggar larangan agama.[4] Dalam
bahasa Arab,
kata ʼAdzāb,
bentuk
jamaknya a‟dzibah artinya siksaan.[5]
Ibnu al-Qayyim berkata : “Azab dan nikmat
kubur adalah suatu nama (yang sama) untuk azab barzakh dan nikmat barzakh,
yaitu alam yang berada di antara alam dunia dan alam akhirat.”[6]
Sedangkan kata “barzakh” berasal dari
bahasa Arab, barzakh berarti batas, atau sekat penghalang antara dua benda.4
Alam barzakh merupakan tempat tinggal antara dunia dan akhirat. Ia lebih banyak
menyerupai alam akhirat atau bahkan bisa dikatakan sebagian dari akhirat.
Tetapi yang lebih menonjol dan lebih tampak berperan di sana ialah ruh serta
hal-hal yang bersifat ruhani. Jasad di alam itu hanya sebagai pengikut yang
menyertai ruh dalam merasakan kenikmatan dan kegembiraan, atau azab dan
kesengsaraan.
Adapun menurut syariat, barzakh
berarti tempat yang ada di antara maut dan kebangkitan. Allah berfirman,
وَمِن وَرَآئِهِم
بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ.....
........“Dan di hadapan
mereka terdapat barzakh sampai hari mereka dibangkitkan.” (Q.S. al-Mu‟minun:
100).
Di alam
inilah manusia akan mendapatkan balasan atas apa yang telah diperbuatnya selama
hidup di dunia. Rasulullah saw menggambarkan tentang bagaimana azab kubur itu benar
adanya, sebagaimana dalam sebdanya,
حدثنا
عياش حدثنا عبد الأعلى حدثنا سعيد قال وقال لي خليفة حدثنا يزيد بن زريع حدثنا سعيد عن قتادة عن أنس
رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال العبد إذا وضع في قبره وتولي وذهب
أصحابه حتى إنه ليسمع قرع نعالهم أتاه ملكان فأقعداه فيقولان له ما كنت تقول في
هذا الرجل محمد صلى الله عليه وسلم فيقول أشهد أنه عبد الله ورسوله فيقال انظر إلى
مقعدك من النار أبدلك الله به مقعدا من الجنة قال النبي صلى الله عليه وسلم
فيراهما جميعا وأما الكافر أو المنافق فيقول لا أدري كنت أقول ما يقول الناس فيقال
لا دريت ولا تليت ثم يضرب بمطرقة من حديد ضربة بين أذنيه فيصيح صيحة يسمعها من
يليه إلا الثقلين
Dari Anas R.A, Dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Seorang hamba
apabila diletakan di kuburannya, lalu ditinggalkan dan sahabat-sahabatnya telah
pergi –hingga sesungguhnya ia mendengar bunyi sandal-sandal mereka- maka dua
malaikat datang dan mendudukkannya. Keduanya
berkata kepadanya, ‘Apakah yang dahulu engkau katakana tentang laku-laki ini,
Muhammad SAW?’ Dia berkata ‘Aku bersaksi bahwa dia adalah Hamba Allah dan
utusan-Nya’. Maka dikatakan kepadanya, ‘Lihatlah tempat tinggalmu di neraka,
Allah telah menggantikannya dengan tempat tinggal di surga’.” Nabi SAW
bersabda, “Maka ia meihat kedua tempat itu sekaligus”. Adapun orang kafir –atau munafik- akan berkata,”Aku tidak tahu,
aku mengatakan apa yang dikatakan manusia’. Maka dikatakan, ‘Engkau
tidak tahu dan tidak mau mengikuti orang yang mengetahui’. Kemudia ia dipukul
dengan palu besi di antara kedua telinganya. Maka, ia pun berteriak dengan satu
teriakan yang didengar oleh apapun yang ada di sekelilingnya kecuali tsaqalain
(jin dan manusia). (H.R. Bukhari)[7]
Ibnu al-Manayyar mengatakan , bahwa
Imam Bukhari mengkhususkan judul ini untuk dijadikan sebagai permulaan adab
saat menguburkan mayit; yaitu harus bersikap tenang, tidak gaduh serta
menghentakan tanah dengan keras, sebagaimana yang harus dilakukan terhadap
orang yang hidup yang sedang tidur. Dalam judul bab ini, dia menyebutkan dengan
lafazh “Khafaq” (bunyi) sedangkan dalam hadits disebutkan dengan lafazh”qar’u”
(bunyi)/hentakan). Ini untuk mensinyalir lafazh “khafaq” yang disebutkan
pada sebagian jalur periwayatan hadits tersebut.
Hadits ini dijadikan dalil bolehnya
berjalan di antara kuburan dengan memakai sandal, namun tidak ada indikasi yang
menunjukan halo itu. Ibnu Al-Jauzi berpendapat bahwa dalam hadits tersebut
tidak ada keterangan selian kisah tentang orang yang masuk perkuburan, dan yang
demikian itu tidaklah berkonsekuensi haram atau pun mubah. Hanya saja orang
yang berdalil dengan hadits ini –dalam masalah tersebut- adalah berdasarkan
sikap nabi SAW yang menceritakan hal itu dan merestuinya. Akan tetapi,
pernyataan ini terbantah oleh adanya kemungkinan bahwa bunyi sandal yang
didengar oleh mayit tersebut adalah bunyi yan berada di luar area perkuburan.
Adapaun keterangan yang memakruhkan
perbuatan itu adalah hadits Basyir bin Khasyasiyah (Bahwa Nabi SAW melihat
seorang laki-laki berjalan di antara kuburan dengan memakai sandal sibtiyah
(sandal yang terbuat dari kulit yang disamak) maka beliau bersabda, “Wahai
emilik sandal sibtiyah, lemparkanlah sandalmu!”). hadits ini diriwayatkan
oleh Abu Daud dan An-Nasai serta dishahihkan oleh Hakim.
Sementara itu, Ibn Hazm mengemukakan
pendaat yang tidak umum, dia berpendapat tentang diharamkannya berjalan di
antara kuburan dengan memakai sandal sibtiyah dan tidak diharamkan jika
memakai sandal yang lain.
Adapun pendapat
Al-Khathabi bahwa kemungkinan Nabi SAW melarang sandal sibtiyah
dikarenakan memakainya terdapat unsur kesombongan, terbantah oleh hadits Ibnu
Umar yang menyatukan bahwa beliau biasa memakai sandal sibtiyah. Hadits
ini shahih seperti yang akan dijelaskan. At-Thahawi berkata, “Larangan bagi
laki-laki tersebut harus dipahami bahwa pada kedua sandal yang dipakainya
terdapat kotoran, karena NAbi SAW biasa shalat dengan memakai sandal-sandal
selama tidak melihat ada kotoran yang menempel di sandalnya.”[8]
[1] Muhib al- Maidi dan Abu FAtih al Adnani, Dari Alam Barzakh
Menuju Padang Mahsyar, (Surakarta: Granada Mediatama, 2003), hlm. 47.
[2] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Kairo: Darul Hadis, 2008),
Kitab Janaiz, Bab: الميت يعرض عليه مقعده بالغداة والعشي, hal. 583.
[3] Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari,
Terjemahan Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam,2008), Vol.7, hal. 419
[5]
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hal. 909.
[6] ʼUmar Sulaiman al-ʼAsyqar, Al-Qiyamah
al-Sughra, Cet. I, (Kuwait: Maktabah al- Falāh,
1406 H), hal. 13.
[7] Imam Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Kairo: Darul Hadis, 2008),
Kitab Janaiz, Bab: الميت يسمع خفق النعال hal.
563.
[8]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, Terjemahan Amiruddin, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), Vol.7, Hal. 302,
Komentar
Posting Komentar