Tafsir bir Ra'yi
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir bir-Ra’yi
Tafsir bir-ra’yi berasal dari kata tafsir, bi dan
al-ra’yi. Secara semantik al-ra’yi berarti keyakinan, pengaturan
dan akal. Al-ra’yu juga identik dengan ijtihad. Berdasarkan pengertian
semantik tersebut, para pakar ilmu tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
tafsir bir-ra’yi adalah menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan
ijtihad yang dilakukan oleh akal.[1]
Sedangkan menurut istilah, tafsir bir-ra’yi adalah
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara ijtihad, yakni penjelasan mengenai
al-Qur’an dengan didasarkan pada kaidah-kaidah ijtihad yang murni, ketentuan-ketentuan
ilmu al-Qur’an dan kaidah-kaidah bahasa Arab. Para ulama menamainya dengan tafsir
bir-ra’yi (tafsir dengan akal), karena penafsiran secara ra’yi
bertolak ukur pada akal, pendapat atau ijtihad sang mufassir, tidak didasarkan
pada apa yang dinukilkan dari para sahabat secara mutlak.[2]
Lebih lanjut, ulama-ulama al-Qur’an memperkenalkan dua macam tafsir
bir-ra’yi, yakni tafsir bir-ra’yi al-mahmud, yakni tafsir berdasar
nalar yang terpuji, dan tafsir bir-ra’yi al-mazmum, yakni tafsir
berdasrkan nalar yang tercela. Yakni mereka yang menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an untuk mendukung pendapat atau madzhab yang dianutnya, sehingga mereka
menjadikan al-Qur’an mengikuti pendapatnya, bukannya menjadikan al-Qur’an
sebagai dasar dan pendapatnya mengikuti tuntunan al-Qur’an. Mereka mencari
pembenaran bukannya mencari kebenaran. Mereka itulah yang diancam oleh riwayat
yang menyatakan:
من فسر القران برأيه فليتبوأ مقعده
من النار
“Siapa yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan pandangan nalarnya,
yakni terlepas dari kaidah-kaidah tafsir, maka hendaklah ia menduduki/mengambil
tempatnya di neraka.”[3]
Adapun langkah-langkah yang layak ditempuh dalam penafsiran secara
ra’yu menurut al-Zarqani, pada garis besarnya ada empat:
1.
Mengutip
hadis nabi dengan memperhatikan yang dha’if dan maudhu’.
2.
Mengambil
pendapat sahabat.
3.
Berpegang
pada kemutlakan bahasa Arab. Dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam
bahasa Arab.
4.
Pengambilan
berdasrkan tuntunan kalam yang sesuai dengan ketentuan syara’.[4]
B.
Sejarah Tafsir bir-Ra’yi
Pada awalnya para ulama enggan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu,
apalagi ada atsar yang mengatakan: “Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an
menurut ra’yu, dan ia benar, maka ia telah salah.” Maka oleh sebab itu, mereka
menolak segala penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada ra’yu semata, kecuali yang
memiliki dasar atau memenuhi persyaratan menurut standar mereka.
Namun di sisi lain, Islam telah berkembang dan meluas ke berbagai
daerah, sehingga terjadi terjadi pula perkembangan pengetahuan keislaman dengan
berbagai macam dan ragamnya. Demikian pula para ulama semakin mendalami
ilmu-ilmu yang ditekuninya yang ditandai dengan munculnya berbagai hasil karya
ilmiah mereka, termasuk tafsir al-Qur’an dengan berbagai macam corak dan
orentasi sesuai dengan latar belakang keilmuan mereka.[5]
Selain itu, sekian banyak problem baru yang bermunculan dari saat
ke saat yang memerlukan jawaban dan bimbingan, sedangkan hal tersebut tidak
ditemukan penjelasannya dari al-Qur’an dan Sunnah. Dari sini lahirlah upaya
memahami/menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan sejak itu lahirlah tafsir
bir-ra’yi. Walaupun sebenarnya tidaklah keliru dari segi substansi jika
dikatakan bahwa penafsiran Nabi saw. dan sahabat-sahabat beliau pun adalah tafsir
bir-ra’yi, karena mereka juga menggunakan nalar mereka dalam upaya memahami
al-Qur’an. Imam Syafi’i berkata seperti yang ditulis as-Suyuti dalam al-Itqan,
bahwa: “Semua ketetapan hukum Nabi saw. adalah hasil pemahaman beliau dari
al-Qur’an berdasarkan firman Allah:
إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ
“Sungguh, Kami telah
menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau
mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu” (QS.
An-Nisa [4]: 105).
Kalau Rasul saw. saja demikian maka lebih-lebih lagi sahabat
beliau. Salah satu bukti bahwa para sahabat Nabi menggunakan nalar dalam
penafsiran adalah perbedaan hasil penafsiran mereka. Hanya saja kita tidak
menamainya tafsir bir-ra’yi dari segi istilah disiplin ilmu.
Al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia, kapan dan di mana pun.
Bahkan al-Qur’an memerintahkan agar kita mengambil pelajaran dari al-Qur’an dan
mengancam apabila kita mengabaikannya:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَآ ﴿٢٤﴾
“maka apakah mereka lengah dan tidak menggunakan potensi mereka
sehingga tidak memperhatikan al-Qur’an? Bahkan pada hati mereka terpasang
kunci-kuncinya”(QS. Muhammad [47]: 24)
Berapa banyak kata dalam al-Qur’an yang menekankan perlunya
berpikir, merenung, mengingat, mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu
dan sebagainya. Tenntu saja berpikir tidak bisa lepas dari kondisi dan situasi
yang dialami, disamping juga dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu, bawaan,
dan kecenderungan si pemikir, karena itulah maka hasil pemikiran masyarakat,
atau bahkan pemikir masa kini, sedikit banyak dapat berbeda dengan hasil
pemikir masyarakat lalu atau orang lain.[6]
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika muncul para mufassir
yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menonjolkan pembahasannya
berdasarkan ilmu-ilmu lain yang mereka kuasai. Misalnya, az-Zamakhsyari dalam
segi ilmu balaghah, al-Qurtubi dalam perincian hukum syara’, serta ar-Razi
dalam berbagai pemahaman ilmu kalam dan filsafat. Dengan demikian, munculah
berbagai kitab tafsir, di mana peran ijtihad dan ra’yu para
mufassirnya tampak sangat jelas.[7]
C.
Sikap Nabi Terhadap Tafsir bir-Ra'yi
Sikap Nabi Muhammad
SAW terhadap Tafsir bir-ra’yi dapat kita lihat dari beberapa
riwayat yang mengatakan bahwasanya:
مَنْ فَسَرَ الْقُرْآنَ بِرَأْيُهِ فَلْيَتَبَوَّأَ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Siapa yang menafsirkan al-Qur’an berdasar
pandangan nalarnya, yakni terlepas dari kaidah-kaidah Tafsir, maka hendaklah
dia menduduki/mengambul tempatnya di neraka.”[8]
Kemudian ada pun
do’a Nabi Muhammad SAW yang dipanjatkan kepada Ibnu Abbas, dan ini juga salah
satu sikap Rasul yang membolehkan Tafsir bi al-Ra’yi. Ada pun bunyinya sebagai
berikut:
اَللَّهُمَّ
فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَ عَلَمَهُ التَأْوِيْلِ
“ Ya Allah berilah pemahaman pada Ibnu Abbas
dalam masalah Agama dan ajarkanlah Ibnu Abbas dalam menafsurkan al-Qur’an.”[9]
Bahkan ath-Thabari
dalam Tafsirnya meriwatatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ فَسَرَ الْقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَاصَابَ فَقَدْ
أَخْطَأَ
"Siapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan nalarnya
(yakni tanpa memperhatikan syarat-syarat yang dibutuhkan) dan penafsirannya
benar, maka dia tetap dinilai salah.”[10]
Dari riwayat di atas
itu bermaksud untuk menekankan perlunya menempuh cara yang benar dalam
menafsirkan al-Qur’an. Ini serupa dengan sikap guru pengajarkan matematika
ketika memeriksa jawaban siswanya. Bisa jadi hasil yang diperoleh sang siswa
benar, tetapi jika cara yang mengantarnya ke jawaban itu keliru, maka tetap
saja sang siswa di nilai keliru.
Bisa jadi ada
penafsiran yang sudah sesuai dengan pengertian kebahasaan dan kaidah-kaidah
kebahasaan, namun ia tetap tertolak kalau makna yang ditarik dari ayat
bertentangan dengan hakikat keagamaan.
Secara umum penafsiran
yang terlarang tercemin dalam penafsiran seseorang untuk mendukung
prakonsepsinya yang tidak memiliki dasar agama dan logika yang kukuh, tetapi
sekedar apa yang terlintas dalam benaknya atau ide keliru yang telah meresap
dalam dirinya.
D. Pendapat
Ulama seputar Tafsir bir-Ra’yi
Ada beberapa
pendapat Ulama tengtang seputar tafsir bir-ra’yi. Sebagian ulama mufassir
menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan sendiri ayat Al-Qur’an,
meski ia dikatakan ‘alim (ulama), mengenai bahasa dan sastra Arab (adid),
banyak menguasai dalil-dalil agama, mengerti ilmu nahwu,hadis Nabi dan
mengetahui atsar para sahabat Nabi. Yang diperbolehkan hanyalah
menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi saw melalui
sahabat dan tabi’in.
Sementara itu sebagian ulama yang
lain berpandangan sebaliknya. Mereka berpandangan bahwa bagi mereka yang
memiliki pengetahuan luas, hendaknya menafsirkan al-Qur’an dengan akal dan
ijtihadnya. Berikut ialah alasan ulama penolakan tafsir bi al-Ra’yi:
1) Tafsir birl-Ra’yi
adalah menafsirkan atau berbicara mengenai firman Allah SWT tanpa ilmu.
Tentu saja ini tidak diperbolehkan. Menurut para penolak tafsir bir-Ra’yi, orang
yang menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir bir-Ra’yi tidak yakin bahwa apa
yang mereka kemukakan sama dengan yang dikehendaki Allah SWT. Artinya mufassir
bir-Ra’yi, hanya berdasarkan pada perkiraan (dzhan) saja.
Menafsirkan atas dasar dzhan adalah menafsirkan ayat Allah SWT dengan
tanpa ilmu. Ini dilarang sebagaimana Firman Allah SWT:
وَّاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّهِ مَالاَتَعْلَمُوْنَ
“.........Kalian mengatakan
kepada Allah apa yang kalian tidak ketahui.” (QS.Al-A’Raf:33)
Kemudian argumen di
atas dibantah dengan ulama yang mendukung tafsir bir-Ra’yi , yakni menurut
mereka, bagaimana pun dzhan juga bisa dibenarkan sebagai ilmu, jika
memang memakai potensi kebenaran yang dominan. Menurut mereka, dzhan
bisa jadi sumber kebenaran, terutama bila memang tidak ada yang qath’iy.
Ini sesuai dengan firman Allah SWT berikut:
لا َيُكَلِّفُ الّلهُ نَفْسًا اِلاَّوُسْعَهَا
"Allah tidak
membebankan hukum kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya,” (QS.Al-Baqarah: 286)
2) Ulama menolak tafsir
bir-Ra’yi karena berkeyakinan
bahwa yang berhak menjelaskan al-Qur’an hanya Nabi Muhammad SAW. Baik melalui
perbuatan, perkataan atau penetapan dan sikap serta beliau. Argumen ini
berlandaskan pada firman Allah SWT:
وَاَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتَبَيِّنَ لِلنّاَسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ........
“Keterangan-keterangan
(mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu
menerangkan pada manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka........”(QS. An-Nahl:44)
Dan pendapat itu pun
dibantah para ulama pendukung tafsir bir-Ra’yi, menurut mereka, ketika
Nabi Muhammad SAW masih hidup, maka penjelasan Al-Qur’an memang menjadi
otoritas beliau. Tetapi sepeninggal Nabi SAW, sementara masalah-masalah baru
bermunculan, maka penjelasan mengenai masalah-masalah tersebut, khususnya
terkait tafsir Al-Qur’an, adalah penafsiran yang dilakukan oleh (Mufasir)
dengan menggunakan akal dan ijtihadnya. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
وَلَعَلَّهُمْ
يَـتَفَكَّرُوْنَ
"........ dan supaya mereka memikirkan”(QS.An-Nahl:44)
3) Kelompok ulama yang menolak tafsir bir-ra’yi
berdasarkan argumennya pada hadis yang menharamkan penafsiran Al-Qur’an dengan
akal (ra’yu). Berkut hadis yang dimaksud :
رواه الترمذى))مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَبَوَّأُ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“barang
siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan logikanya, maka disediakan tempatnya di
api neraka.” (HR. Al-turmudzi).
Hadis ini didukung oleh hadis yang diriwayatkan oleh, jundab berikut ini
:
مَنْ قالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَاصَابَ فَقَدْ اَخْطَأَ (رواه جندب)
“siapa yang
menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya, lalu benar pendapatnya, maka dia
melakukan kekeliruan.”(H.R
Jundab)
Dan
pendapat itu pun di bantah kembali oleh ulama tafsir bir-ra’yi bahwasanya
penolakan tafsir bir-ra’yi dengan menggunakan dua hadis diatas.
Menurut mereka, larangan itu di
maksudkan bagi orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan kecenderungan dan hawa
nafsunya saja tanpa dalil.
4) Kemudian ulamayang
menolak tafsir bir-ra’yi juga mendasarkan argumennya pada fakta
bahwa para sahabat dan tabi’in sangat menghormati tafsir Al-Qur’an dan
menghindari penggunaan akal.
5) Pendapat itu pun di
sanggah kembali oleh ulama pendukung tafsir bir-ra’yi menyatakan
bahwa keengganan para sahabat dan tabi’in dalam menafsirkan Al-Qur’an atas
dasar ijtihad (ra’yu), itu selain karena sikap hati-hati mereka juga
karena mereka belum tahu kebenaran dengan pertimbangan ijtihad (ra’yu)
yang dikemukakan.
Berikut ini kemukakan juga argumen-argumen
yang mendasari kelompok ulama pendukung tafsir bir-ra’yi.
- Para ulama yang membolehkan tafsir bir-ra’yi berargumen bahwa
Allah SWT
sendiri, banyak ayat di dalam Al-Qur’an menganjurkan penggunaan akal,
pemikiran, perenungan dan penelitian. Sebagaimana dalam Al-Qur’an menjelaskan
sebagai berikut :
“maka apakah mereka
tidak memperhatikan Al-Qur’an.” (QS.An-Nisa : 82)
“ini adalah sebuah
kitab yang kami turunkan kepadamupenuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya.” (QS.al-Shadd:229)
“dan apa bila datang
kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, merka lalu
menyiarkan.dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil Amri,tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarananya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (rasul dan ulul amri).” (QS. An- Nisa:83)
Dua ayat
yang pertama di atas menunjukan bahwa Allah SWT mnganjurkan paa hambanya untuk
berfikir, merenung dan menggunakan akal, juga agar melakukan penelitian
terhadap Al-Qur’an. Sementara ayat ke tiga menunjukan bahwa Al-Qur’an dapat
digali isi kandungannya melalui itihad yang berakal,berilmu dan mumpuni.
- Para ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi mengatakan : “seandainya tafsir bi al-ra’yi tidak diperbolehkan, lalu mengapa ijtihad dibolehkan ? seorang mujtahid dalam hkum syara’ di beri pahala dua jika benar dan diberi satu pahala jika salah. Jadi jelas penolakan tafsir bi al- ra’yi tidak benar.”
- Para ulama pendukung tafsir bir-ra’yi berargumen bahwa para sahabat Nabi dalam menafsirkan Al-Qur’an ada sedikit perbedaan. Karena mereka belum mendapatkan penjelasan seluruh makna Al-Qur’an dari Nabi SAW, mereka baru mendapatkan penjelasan dari Nabi SAW sebagian Al-Qur’an, maka mereka menggunakan akal dan ijtihadnya.
- Para ulama pendukung tafsir bir-ra’yi menguatkan pandangannya dengan mengemumakan fakta bahwa Nabi Muhammad SAW berdo’a untuk Ibnu Abbas, yang berbunyi :
“Ya Allah
berilah pemahaman pada Ibnu Abbas dalam masalah agama, dan ajarkanlah Ibnu Abbas
dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Menurut
mereka seandainya penafsiran Al-Qur’an terbatas pada apa yang di dengar dan di
jelaskan dari Nabi SAW, tentu disini tidak ada artinya do’a Nabi SAW yang di
khususkan kepada Ibnu Abbas tersebut.
E.
Kelebihan dan Kekurangan Tafsir bir-Ra'yi
A.
Kelebihan
Tafsir Bi Al-Ra'yi
1.
Mufassir
bisa memberikan cakrawala yang luas dalam menafsirkan Al-Qur'an sesuai dengan
kondisi dan situasi.
2.
Kemungkinan
mufassir dapat menafsirkan seluruh ayat Al-Qur'an secara dinamis sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.
Menjadikan
tafsir Al-Qur'an dapat berkembang dalam menjawab segala permasalahan yang
timbul seiring dengan kehidupan umat islam sepanjang masa.
4.
Mendorong
umat islam untuk senantiasa berfikir dan bertadabbur atas kebesaran ayat-ayat
Al-Qur'an dan tidak lekas menerima apa adanya (taqlid) terhadap tafsir-tafsir
ulama salaf.
B.
Kekurangan
tafsir Bi Al-Ra'yi
1.
Mufassir
menjustifikasikan pendapatnya dengan Al-Qur'an padahal Al-Qur'an tidak
demikian.
2.
Mufassir
akan menafsirkan Al-Qur'an dengan penafsiran yang salah, karena kedangkalan
ilmu pengetahuan mufassir atau tidak memenuhi persyaratan sebagai mufassir.
F.
Kitab-Kitab Tafsir Bi Ra'yi
Para ulama
berpendapat bahwa penafsiran denga logika (bi al-ra'yi) ada dua macam
yaitu al-mahmud (terpuji) dan al-madzmum (tercela). Tafisr bi ra'yi yang
dianggap terpuji yaitu tafsir yang ditulis oleh seorang mufassir yang memenuhi
syarat, jauh dari kebodohan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa
arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa arab dalam memahami nash Al-Qur'an.
Sedangkan tafsir bi ra'yi yang dianggap tercela yaitu bila menafsirkan
Al-Qur'an menurut selera penafsir itu sendiri, todak mengetahui kaidah-kaidah
bahasa dan hukum, atau membawa firman Allah kepada mazhabnya dan membawa kepada
bid'ah dhalalah, atau mendalami firman Allah SWT dengan ilmunya tapi tidak
mengetahui kaidah bahasa arab.
Adapun kitab-kitab
tafsir yang dianggap al-mahmud (terpuji) antara lain adalah:
1.
Tafsir
Mafatih al-Ghaib karya Fakhrurrazi
2.
Tafsir
Anwa'u al-Tanzil wa Asrar a;-Tanwil karya al- Baidhowi
3.
Tafsir
Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Tanwil karya al- Nasafi
4.
Tafsir
Lubab al-Tanwil fi Ma'ani al-Tanzil karya al-Khazim
5.
Tafsir
al-Bahru al-Muhith karya Abu Hayyan
6.
Tafsir
Gharaibu al-Qur'an wa Raghaibu al-Furqan karya al-Naisaburi
7.
Tafsir
al-Jalalain karya al-Jalal al-Mahalli an al-Jalal al-Suyuthi
8.
Tafsir
al-Siraj al-Munir Fi al-I'anah 'Ala Ma'rifati Ba'dhi Ma'ani Kalam Rabbina
al-Hakim al-Khabir karya al-Khatib al-Syarbaini
9.
Tafsir
Irsyad al-Aqli al-Salim Ila Mazaya al-Kitab al-Karim karya Abu Sa'ud
10.
Ruh
Ma'ani Fi Tafsir al-Qur'an al-Adzhim wa al-Sab'u al- Matsani karya al-Alusi.
Adapun kitab-kitab tafsir yang dianggap al-Madzmum (tercela) antara
lain adalah:
1.
Tafsir
al-Kasysyaf karya Zamakhsyari
2.
Tafsir
Tanzih al-Qur'an 'An al-Matha'in karya al-Qadhi Abdul Jabbar
Tafsir
Amali al-Syarif al-Murtadho aw Ghurar al-Fawaid wa Durar al-Qalaid karya
Abu Qasim
[1] Muhammad
Sofyan, Tafsir wal mufassirun, (Medan: Perdana Publishing, 2015), hal.
2-3.
[2] Miftah
Farid dan Agus Syihabuddin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama, (Bandung:
Pustaka, 1989), hal. 286.
[3] M.
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hal.
368.
[4] Miftah
Faridl dan Agus Syihabuddin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama, (Bandung:
Pustaka, 1989), hal. 287.
[5] Rachmat
Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 242.
[6] M.
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hal.
362-364.
[7] Rachmat
Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal.
243.
[8] M.
Quraish Shihab. kaidah tafsir,( Ciputat:Penerbit lentera hati,2013), hal.
368.
[9] Dr.
H.Anshori LAL.,MA. Tafsir bil ra’yi,(Ciputat:Gaung Persada Press
Jakarta,2010), hal. 9.
[10] M.
Quraish Shihab. kaidah tafsir,( Ciputat:Penerbit lentera hati,2013), hal.
368.
Komentar
Posting Komentar