PEMBUKUAN ILMU HADIS



  1. Kelahiran Ilmu Hadits
Tahap ini berlangsung pada masa Nabi sampai penghujung abad pertama hijriah, ketika Nabi Muhammad Saw. Wafat, para sahabatlah yang membawa panji-panji Islam. Kafilah ini berjalan mengawalinya demi menyelamatkan kemanusiaan dan menyampaikan segala sesuatu yang daiajarkan oleh rasul Saw. Waktu itu mereka telah menghafal Al-Qur’an dengasn sempurna seperti halnya mereka menguasai dan memlihara hadits Nabi.
Diantara faktor pendukung pemeliharaan hadits yang paling penting adalah sebagai berikut:
1.      kejernihan hati dan daya ingatnya hafalan.
Kesederhanaan kehidupan dan jauhnya mereka dari peradaban kota dengan segala permasalahannya menjadikan mereka berhatti jernih. Karena itu mereka dikenal sebagi bangsa yang kuat hafalannya dan kecerdasan mereka sangat mengagumkan. Dengan sekali dengar mereka dapat mengahafsal syair-syair yang panjang, khotbah, dan yang lainnya.
2.      Minat yang kuat terhadap agama
Para sahabat yakin bahwa tidak ada kebahagiaan di dunia dan akhirat dan tidak ada jalan menuju kemuliaan dan kedudukan yang terhormat diantara umat yang lain kecuali dengan islam ini. Karenanya mereka mempelajari seluruh hadits dengan penuh perhatian. Juga diperkuat dengan himbauan Rasulullah kepada mereka agar menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang-orang. Misalnyua hadits Zaid bin Tsabit berkata: “saya mendengar rasululla Saw. Bersabda “semoga Alla memperindah wajah orang yang mendengar ucapan ku lalu menyampaikannya. Mungkin saja orang yang membawa (informasi) fiqih itu bukanlah seorang faqih, dan bisa saja orang yang memebawa (informasi) fiqih menyampaikannya kepada orang yang lebih faqih dari padanya (HR.Abu Dawud Al-Turmudzi dan Ibn Majjah).[1]
     Dengan demikian, pemeliharaan hadist wajib hukumnya, agar umat Islam bebas dari tuntutan penyampaiannya yang telah diperintahkan Rasulullah Saw.
3.      kedudukan Hadist dalam Agama Islam
Hadist merupakan sendi asas yang telah membentuk pola piker para sahabat sikap, perbuatan, serta etika mereka. Sebab mereka senantiasa tunduk dan patuh kepada Rasulullah Saw dalam segala hal. Setiap kali mereka mendengar sebuah hadist dari Nabi Saw maka kalimat itu akan mendarah daging dan menjelma dalam perilaku mereka. Hal seperti itu tidak diragukan lagi akan menyebabkan mereka hafal dan menutup kemungkinan untuk lupa.
4.      Nabi tahu bahwa para sahabat akan menjadi pengganti Beliau dalam mengemban amanah dan menyampaikan risalah.
Beliau menempuh beberapa metode dalam menyampaikan hadis kepada mereka dan menempuh jalan hikmah agar mereka benar-benar mampu mengemban tanggung jawab. Diantara cara beliau berbicara adalah sebagai berikut:
a)      Beliau tidak menyampaikan hadis secara beruntun melainkan sedikit demi sedikit, agar dapat meresap dalam hati.
b)      Beliau tidak berbicara panjang lebar melainkan dengan sederhana.
c)      Beliau sering mengulangi pembicaraannya agar dapat ditanggap oleh hati orang-orang yang mendengarkannya.

5.      cara Nabi SAW menyampaikan hadis
Rasulullah dianugrahi kemampuan yang jarang dimiliki orang lain dalam menjelaskan suatu masalah. Tidak diragukan lagi bahwa penjelasan yang baligh akan dapat menguasai hati oaring yang mendengarkannya. Lalu bagaimana kiranya jika orang yang mendengarkannya adalah orang-orang yang menguasai balaghoh.
6.      Penulisan Hadis
Penulisan adalah suatu media terpenting bagi pemeliharaan ilmu pengetahuan dan penyebaran kepada masyarakat luas tidak terkecuali penulisan hadis, meskipun terdapat sejumlah riwayat yang  berbeda dan pandangan yang beraneka ragam. Berkenaan dengan penulisan hadis telah lahir sejumlah kitab baik di zaman dahulu maupun dizaman belakangan.[2]
     Diriwayatkan dalam shahih al-bukhari[3] dari Abu Hurairah R.A. katanya “tidak seorang pun dari sahabat Nabi yang lebih banyak dariku dalam meriwayatkan hadis, kecuali Abdullah bin Amr. Dahulunya ia menulis sedangkan aku tidak.”

  1. Periode Perkembangan Penulisan Hadis
Kami akan membagi peroide penulisan hadis ke dalam 5 periode:
  1. Periode Nabi Muhammad SAW.
Pada zaman Rasul hadis belum mendapatkan khusus karena mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang jika hadis tidak diabadikan dalam bentuk tulisan. Hal ini dikarenakan para sahabat berpegang pada sahabat Nabi “jangan kamu tulis sesuatu yang kamu telah dari ku selain Al-Qur’an. Barang siapa yag menuliskan yang ia terima dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dari ku, tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas nama ku maka hendaklah ia menduduki ia tempatnya di neraka.” HR. Muslim
      Larangan penulisan hadis ini bukanlah tanpa sebab, Rasulullah menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat menulis wahyu memasukan hadis kedalam lembaran tulisan Al-Qur’an. Periode ini disebut dengan ‘Ashr Al Wahyi wa At Taqwin’ (masa turunya wahyu dan pembentukan masyarakat Ilsam). Pada periode ini para sahabat mulai pandai dalam baca tulis hanya saja sifatnya masih terbatas. Oleh karnanya, nabi menekankan untuk mengahafal, memahami, memelihara, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ajaj Al-Khatib menjelaskan, bahwa proses terjadinya hadis bisa jadi timbul dari berbagai sisi yakni ada 3 sisi:
1.      Terjadi pada Nabi sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat dan kemudian para sahabat sampaikan kepada sahabat lain. Misalnya, suatu ketika Nabi melewati pedagang makanan dalam karung, beliau memasukan tangannya ternyata masih basah, lantas beliau bersabda:
ليس منا من غش
Tidak tergolong umatku (umat yang mendapat petunjuk) manusia yang menipu. (HR. Ahmad)
2.      Terjadi pada sahabat atau kaum muslimin karena mengalami suatu problem masalah kemudian bertanya kepada Rasulullah. Banyak sekali hadis yang timbul disebabkan dari pertanyaan seorang sahabat, kemudian menjawab dan memberi penjelasan-penjelasan.
3.      Segala perbuatan dan tindakan Nabi dalam melaksanakan syariah Islamiyah baik menyangkut ibadah dan akhlak yang disaksikan para sahabat, kemudian mereka sampaikan kepada para tabiin.
Hadis pada waktu itu hanya diingat dan dihafal oleh mereka tidak ditulis seperti Al-Qur’an karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Dr. Musthafa As-Siba’i menyampaikan beberapa alasan diantaranya:
1.      Al-Qur’an masih turun kepada Nabi dan kondisi penuliasannya masih sangat sederhana ditulis diatas pelepah kurma, kulit, tulang binatang, dan batu-batuan, dan belum dibukukan. (Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar dan Umar)
2.      Kemampuan tulis menulis bagi para sahabat pada awal Islam masih sangat langka dapat dihitung dengan jari dan mereka sudah difungsikan sebagai penulis wahyu Al-Qur’an.
3.      Ingatan orang-orang Arab yang dikenal bersifat ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuat dan diandalkan Rasul untuk mengingat hadis.

  1. Periode Sahabat (12-98 H)
Setelah Nabi Muhammad wafat para sahabat belum memikirkan pengkodifikasian hadis, karena masih banyak masalah-masalah yang dihadapi diantaranya timbulnya kelompok orang murtad, timbulnya peprangan sehimgga banyak penghafal al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu Bakar adalah membekukan al-Qur’an. Abu bakar pernah berkeinginan membukukan sunnah tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah ditangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Al-Hakim menceritakan bahwqa Aisyah R.A. berkata: “ayahku menghimpun 500 hadis, semalaman beliau bolak-balik memeriksanya, ketika pagi beliau meminta hadis-hadis yang ada ditanganku untuk dibakar dan berkata “aku khawatir jika aku mati sementara hadis-hadis itu masih ditangan mu dari orang-orang yang terpercaya tetapi tidak diriwayatkan sebagaimana mestinya.” Umar bin Khatab juga pernah ingin mencoba menghimpun hadis namun sama seperti Abu Bakar. Umar khawatir dalam pembukuan hadis akan menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka didalam kitab tuhan mereka. Jadi Abu Bakar dan Umar tidak berarti melarang pengkodikasian hadis tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
                        Hukum kebolehan menulis hadis terjadi secara berangsur-angsur. Pada saat wahyu turun, umat Islam menghabiskan waktunya untuk menghafal dan menulis al-Qur’an. Sunnah hannya disimpan dalam dada mereka, disampaikan dari lisan ke lisan dan diperaktekan dalam kehidupan mereka sesuai dengan apa yang mereka lihat dan mereka dengar dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian setelah al_Qur’an dapat terpelihara dangan baik, mereka telah mampu membedakannya dengan catatan sunnah, dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan al-Qur’an, para ulama sepakat bolehnya penulisan dan pengkodefikasian sunnah. Hasil penelitian Musthafa al-A’zami membuktikan tidak sedikit para sahabat dan tabiin yang menulis hadis sebagai dokumentasi sejarah, yaitu mencapai antara 52 orang sahabat atau 53 orang sahabat, sedangkan Abdul Maujud mencatat 50 orang sahabat diantara sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan hadis ialah:
1.      Abu Hurairah, sebanyak 5.374 buah hadis.
2.      Abdullah bin Umar, sebanyak 2.635 buah hadis.
3.      Annas bin Malik, sebanyak 2.286 buah hadis.
4.      Aisyah, sebanyak 2.210 buah hadis.
5.      Abdullah bin Abbas, sebanyak 1.660 buah hadis.
6.      Jabir bin Abdullah, sebanyak 1.540 buah hadis[4]
Pada masa Ali, timbul perpecahan dikalangan umat Islam akibat konflik politik antar pendukung Ali dan Muawiyah. Umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu khawarij, Syiah dan Jumhur Muslimin. Akibat perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat hadis palsu untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan atau partai-partai dan untuk mencarai dukungan dari umat Islam.sebab perpecahan ini pula masing-masing kelompok menolak hadis yang diriwayatkan olah kelompok lawannya karena masing-masing memiliki persyaratan shahih tertentu.
                        Ulama dikalangan sahabat tidak tinggal diam dalam menghadapi pemalsuan hadis-hadis tersebut. Mereka berusaha menjaga kemurnian hadis dengan serius dan sungguh-sungguh, diantranya mengadakan perlawatan kedaerah Islam untuk mengecek kebenaran hadis yang telah sampai kepada mereka baik dari segi matan maupun sanad. Faktor lain yang menyebabkan para sahabat mengadakan perlawatan adala untuk mencari hadis karena para sahabat senior pasca Khulafaurrasyidin telah berpindah ke berbagai kota lain. Misalnya yang dilakukan Jabir bin Abdullah yang pernah melakukan rihlah ke Syam dalam waktu satu bulan dengan menjual seekor unta untuk ongkos transportasi hanya karena ingin mendapatkan satu buah hadis yang belum pernah ia dengar dari Abdullah bin Unais tentang hadis:
ÙŠَخشُرُ الله تَبَارَÙƒَ Ùˆَ تَعَالَÙ‰ العِبَادَ
Allah akan mengumpulkan hamba-hambanya. (HR. Al-Bukhari, Ahmad, Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).
            Dari berbagai keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa, telah banyak didapatkan catatan atau penulisan hadis sebelum pengkodifikasian secara resmi berdasarkan instruksi seorang khalifah. Di antara dokumentasi penting adalah sebagai berikut: 
a.      Masa Tabiin
Pada dasarnya periayatan yang dilakukan oleh kalangan tabiin tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada, masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasaaan Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika, Bashrah, Syam, dan Khurasan. Penyebaran para sahabat kedaerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa penyebarannya periwayatan hadis(intisyar al-riwayah ila al-amshar).
Umar bin Abdul Aziz adalah seorang Khalifah dari bani Umayyah yang terkenal adil dan wara. Beliau sangat waspada dan sabar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meningagal dunia. Beliau hadir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghafalnya. Pada tahun 100 H, beliau memerintahkan kepada gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis nabi yang terdapat pada para penghafal hadis Nabi.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berisi:”perhatikanlah Hadis-hadis Rasulullah Saw. yang kau jumpai dan tulislah, karena aku sangat khawatir akan terhapusnya ilmu, sejalan dengan hilangnya ulama.[5]
Kemudian al-Zuhri, Abu Bakar bin Abdurrahman, dan lainnya menulis dan membukukan hadis-hadis yang dapat mereka jumpai di wilayah masing-masing. Saat itu kitab-kitab hadis belum disusun secara sistematis melainkan sekedar dihimpun dalam kitab-kitab jami’ dan mushannaf; seperti Jami’ Ma’mar bin Rasyid(w.154 H), Jami’ Sufyan al-Tsaufi(w.161 H), Mushanniaf Adurrazaq(w. 211 H), dan Mushannaf Hammad bin Salamah. Imam Malik menyusun kitabnya Al-Muwaththa’. Kitab paling penting saat itu, tetapi jumlah hadisnya masih sedikit, hanya sekitar lima ratus hadis ditambah dengan sejumlah pendapat para sahabat dan tabiin.
Kitab-kitab tersebut mencakup hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqthu’ karena maksud dalam penyusunan tersebut adalah sekedar untuk menghmpun dan memelihara hadis. Karenanya mereka sangaat longgar dalam periwayatannya, sehingga untuk setiap masalah mereka mencantumkan semua hadis yang relevan yang didapatkannya, dengan seluruh sanadnya sampai kepada sumbernya.
Pada abad ke tiga, periode ini sejak masa akhir pemerintahan Bani Abbasiyah angkatan pertama (Khalifah Al Makmun) samapai awal pemerintahan Bani Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah Al-Muqtadir)
a.       Kegiatan Para Ulama Hadis
Kitab hadis yang ada berisi campuran antara hadis yang shahih dan dhaif. Begitu pula belum dipisahkan antara hadis yang marfu’, mauquf, dan maqthu. Pada awal abad ketiga hijriah dilakukan upaya penyempuranaan berupa kegiatan sebagai berikut:
1.      Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah yang jauh, usaha ini dipelopori oleh imam Bukhari. Selama 16 tahun beliau melakukan perlawatan ke kota makkah, madinah, bagdad, basrah, kuffah, mesir, damaskus, naisabur dan sebagainya. Kemudian di ikuti oleh Imam Muslim, Abu Dawud, At-Turmudzi, An-nasa’I dan lain-lain.
2.      mengadakan klasifikasi antar hadis marfu’ mauquf dan yang maqthu.
3.      mengadakan seleksi kulitas hadis antara yang shahih dan yang dhaif. Usaha ini dipelopori oleh Ishaq bin ruhawaih. Kemudian dilanjutkan oleh Bukhari, Muslim, Abu dawud, At-turmudzi, An-Nasa’I, Ibnu majjah dan lain-lain.
4.      menghimpun kritik yang dilontarkan para ahli ilmu kalam dan lain-lain, baik kritik yang ditujukan kepada pribadi perawi maupun matan hadis. Salah seorang ulam yang melakukan ini adalah Ibnu Qutaibah dengan mnyusun kitab ta’wilu mukhtalif al hadits fii raddi ala ada’ al hadits.
5.      menyusun kitab hadits berdasarkan tema dan masalah sehingga memiliki bab sesuai dengan masalah tertentu. Ulama yang merintis metode ini adalah Bukhari, kemudian diikuti muridnya yaitu Muslim. Sesudah itu baru diikiuti oleh Abu Dawud At-Turmudzi dan lain-lain.
Pada Periode Ke Empat, Periode ini dimulai pada masa Bani Abasiyah kedua (Khalifah Al-Muqtadir). Periode ini disebut juga dengan istilah periode Ulama Muta’akhirin.[6]

  1. Metode Pembukuan dan Karya Terpopulernya[7]

Ada beberapa metode yang dilakukan para ahli hadis dalam penyusunan hadis. Berikut ini kami akan mencoba menyampaikan beberapa metode pembukuan hadis beserta karya terpopulernya:

1.      Metode Masanid
Al-Masanid, jamak dari sanad maksudnya: Buku-buku yang telah berisi tentang kumpulan hadits setiap sahabat secara tersendiri, baik hadits shahih, hasan, atau dhaif. Dan bedasarkan Urutan para sahabat di dalam musnad kadang bedasarkan huruf  hijaiyah atau alfabet- sebagaimana dilakukan oleh banyak ulama-, dan ini paling mudah dipahami, kadang juga berdasarkan kabila dari suku, atau berdasarkan yang paling dahulu masuk islam berdasarkan negara.

Al-Masanid yang dibuat oleh para ulama hadits jumlahnya banyak Al-Kittani dalam kitabnya Ar-Risalah Al-Mustathrafah menyebutkan jumlahnya sekitar sebanyak 82 musnad, kemudian berkata, “Musnad itu jumlahnya banyak selain yang telah kami sebutkan.[8]

Adapun musnad-musnad yang paling terkenal adalah :
1.      Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud AT-Thayalisi (wafat 204 H)[9]
2.      Musnad Abu Bakar Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidy (wafat 219 H)
3.      Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H)
4.      Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amru Al-Bazzar (wafat 292 H)
5.      Musnad Abu Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mutsana Al-Mushili (wafat 307 H)

Selain mencakup semua hadits dan tidak berurutan pada bab fikih, karena urutan tersebut harus menggambungkan musnad setiap sahabat tanpa melihat obyek pembahasan riwayatnya. Hal ini akan mempesulit bagi orang yang ingin mempelajarinya karena kesulitan mendapatkan hadits-hadits hukum fikih itu sendiri atau hadits-hadits tentang suatu masalah.

2.      Metode Al-Ma’ajim
Al-Ma’ajim adalah jamak dari mu’jam. Adapun menurut istilah para ahli hadits adalah: Buku yang berisi kumpulan hadits-hadits yang berurutan berdasarkan nama-nama sahabat, atau guru-guru penyusun, atau negeri, sesuai dengan dengan huruf hijaiyah.

Adapun kitab-kitab mu’jam yang terkenal, antara lain :
1.      Al-Mu’jam Al-Kabir, karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad At-Thabarani (wafat 306 H), adalah berisi musnad-musnad para sahabat yang disusun berdasarkan huruf mu’jam (kamus), kecuali musnad Abu Hurairah karena disendirikan dalam satu buku dan berisi 60.000 Hadits.
2.      Al-Mu’jam Al-Awsath, karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad At-Thabarani, disusun berdasarkan nama-nama gurunya yang jumlahnya sekitar 2000 orang dan didalamnya terdapat 30.000 hadits.
3.      Al-Mu’jam As-Shaghir, karya At-Thabarani juga berisi 1000 orang dari para gurunya, kebanyakan setiap satu hadits diriwayatkan dari satu gurunya. Ada yang mengatakan: berisi 20.000 hadits.
4.      Al-Mu’jam Al-Buldan, karya Abu Ya’la Ahmad bin Al- Al-Mushili (wafat 307 H)

3.      Metode Pengumpulan Hadits Berdasarkan Semua Bab Pembahasan Agama, Seperti Kitab-Kitab Al-Jawami’
Al-Jawami’ jamak dari  jaami’. Sedang Jawami’ dalam karya hadits adalah apa yang disusun dan dibukukan oleh pengarangnya terhadap semua pembahasan agama. Maka dalam kitab semodel ini, Anda akan menemukan ba ini tentang iman (akidah), thaharah, ibadah, muamalat, pernikahan, sirah, riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa, fitnah, dll.

Kitab-kitab Jami’ yang terkenal adalah:
1.      Al-Jami’ Ash-Shahih, karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (wafat 256 H), orang yang pertama menyusun dan membukukan hadits shahih, akan tetapi belum mencakup semuanya. Kitab ini disusun berdasarkan urutan bab, diawali dengan Kitab Bad’u Al-Wahyu, dan Kitabul Iman. Kemudian dilanjutkan dengan Kitab Ilmi ada 97 kitab.

Kitab Shahih Bukhari ini mendapatkan perhatian yang cukup besar dari para ulama, diantaranya dengan membuat syarahnya, dan syarh yang paling baik adalah kitab Fathul Bari bi Syarhi Shalihi Al-Bukhari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H), dan Umdatul Qari, karya Bahrudin Al-Aini (wafat 855 H), dan Irsyadus Sari Ila Shahihi Al-Bukhari, karya Al-Qasthalani (wafat 922 H).

2.      Al-Jami’ Ash-Shahih, karya Imam Abdul Husain Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi (wafat 261 H), berisi kumpulan riwayat hadits yang shahih saja sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh Imam Muslim, dimulai dengan Kitab Tafsir .Jumlah semuanya ada 54 Kitab.

Shahih Muslim juga mendapat penerimaan dan perhatian yang sangat besar oleh para ulama, diantaranya dengan cara membuat syarh terhadap kitab tersebut. Di antara ktab syar yang terbaik adalah : “Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj” karya Al-Qadhi’ Iyadh (wafat 544 H), dan kitab “Ad-Dibaj ‘Ala Shahih Msulim bin Al-Hajjaj” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi (wafat 911 H).

3.      “Al-Jami’ Ash-Shahih” karya Imam Abu Isa Muhamad bin Isa At-Tirmidzi (wafat 274 H), merupakan kumpulan hadits shahih, hasan, dan dhaif.

Di antara syarh dari kitab Tirmidzi ini : “Aridhatul Ahwadzi ‘Ala At-Tirmidzi”[10] karya al-Hafidz Abu Bakar Muhammad bin Abdullah Al-Isybili, atau dikenal dengan Ibnu Arabi Al-Maliki (wafat 543 H). Kemudian disyarh oleh al-Hafidz Abdurrahman bin Ahmad Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat 795 H).

Kitab Al-Jami’ Ash-Shahih”  ini biasanya dinamakan dengan “Sunan At-Tirmidzi”. 

4.      Metode Penulisan Hadits Berdasarkan Pembahasan Fikih
Karya ini tidak mencakup semua pembahasan agama, tetapi sebagian besarnya saja, khususnya masalah fikih. Metode ini digunakan untuk menyebutkan bab-bab fikih secara berurutan, dimulai dari kitab Thaharah kemudian kitab Shalat, Ibadah, Muamalat, dan seluruh bab yang berkenaan dengan hukum dan ibadah.

Karya terkenal dengan metode ini :
1.      “As-Sunan” yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan bab-bab tentang fikih, dan hanya memuat hadits yang marfu’ saja agar dijadikan sebagai sumber fuqaha’ dalam mengambil kesimpulan hukum.

Dalam As-Sunan tidak terdapat pembahasan tentang akidah, sirah, manaqid, dan lain sebagaimana, tapi hanya terbatas pada masalah fikih dan hadits-hadits hukum saja.

Kitab-kitab “As-Sunan” yang terkenal adalah :
a.       “Sunan Abi Dawud”, karya Sulaiman bin Asy’ats As-Sijistani (wafat 275 H)
b.      “Sunan An-Nasa’i”, yang dinamakan dengan “Al-Mujtaba”, karya Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib An-Nasai (wafat 303 H)
c.       “Sunan Ibnu Majah”, karya Muhammad bin Yazid bin Majah Al-Qazwini (wafat 275 H)
d.      “Sunan As-Syafi’i”, karya Muhammad bin Idris As-Syafi’i (wafat 204 H)
e.       “Sunan Ad-Darimi”, karya Abdullah bin Abdurrahman Ad-Darimi (wafat 255 H)
f.       “Sunan Ad-Daruquthni”, karya Ali bin Umar Ad-Daruquthni (wafat 385 H)
g.      “Sunan Al-Baihaqi”, karya Abu Bakar Muhammad bin Husein Al-Baihaqi (wafat 458 H)

2.      Al-Mushannafat, jamak mushannaf . Menurut istilah ahli hadits adalah sebuah kitab yang disusun berdasarkan urutan bab-bab tentang fikih, yang meliputi hadits marfu’, mauquf, dan mauquf, atau didalamnya terdapat hadits-hadits Nabi, perkataan sahabat, fatwah-fatwah tabi’in, dan terkadang fatwah tabi’ut tabi’in.

Karya-karya yang terkenal dalam metode ini adalah :
a.       “Al-Mushannaf” karya Abu Bakar Abdurrazaq bin Hammam Ash-Shan’ani (wafat 211 H)
b.      “Al-Mushannaf” karya Abu Bakar Abdullah bin Muhamad bin Abi Syaibah Al-Kufi (wafat 235 H), terdapat beberapa juz bagian darinya.
c.       “Al-Mushannaf” karya Baqiyy bin Makhlad Al-Qurthubi (wafat 276 H)

3.      Al-Muwaththa’at, jamak dari muwaththa’. Menurut istilah ahli hadits adalah sebuat kitab yang tersusun berdasarkan urutan bab-bab fikih dan mencangkup hadits-hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’, sama seperti mushannaf, meskipun namanya berbeda.

Karya-karya muwaththa’at yang terkenal :
a.       Al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas Al-Madani (wafat 179 H), dicetak berulang kali.
b.      Al-Muwaththa’ karya Ibnu Abi Dzi’b Muhamad bn Abdurrahman Al-Madani (wafat 158 H)
c.       Al-Muwaththa’ karya Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Marwazi (293 H)

5.      Kitab-kitab yang Penyusunan Menyatakan Komitmen Hanya Menuliskan Hadit-Hadits yang Shahih
Selain metode-metode ini penyusunan yang telah disebutkan di atas, sebagian ulama tetap komitmen menyusun kitab-kitab shahih, dan diantaranya: Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, dan Al-Mustadrak karya Al-Hakim. Selain kitab-kitab yang telah disebutkan ada beberapa kitab yang disusun dengan kriteria shahih oleh penulisnya :
1.      “Shahih Ibnu Khuzaimah” karya Abi Abdillah Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah bin Al-Mughirah As-Sulumi An-Naisaburi, guru Ibnu Hibban  (wafat 311 H)
2.      “Shahih Ibnu Hibban” karya Abu Hatim Muhammad bin Hibban (wafat 354 H)

6.      Metode Karya Tematik
Sebagian ahli hadits menyusun karya-karya tematik yang terbatas pada hadits-hadits tertentu berkaitan dengan tema tertentu, diantaranya :
1.      At-Targhib wa At-Tarhib : kitab-kitab hadits yang berisi kumpulan hadits tentang taghrib (motivasi) terhadap perintah agama, ataupun tarhib (ancaman) terhadap larangan-nya.

Karya-karya tentang hal ini antara lain :
a.       At-Targhib wa At-Tarhib, karya Zakiyuddin Abdul Azzim bin Abdi Qawiy Al-Mundziri (wafat 656 H)
b.      At-Targhib wa At-Tarhib, karya Abi Hafsh Umar bin Ahmad atau nama lain Ibnu Syahin (wafat 385 H)

2.      Buku tentang kezhuhudan, keutamaan amal, adab, dan akhlaq, antara lain :
a.       Kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H)
b.      Kitab Az-Zuhd karya Abdullah bin Al-Mubarak (wafat 181 H)
c.       Kitab Akhlaq An-Nabi karya Abi Syaikh Abi Muhamad Abdullah bin Muhamad Al-Ashbahani (wafat 369 H)
d.      Kitab Riyadh As-Shalihin min Kalam Sayyid Al-Mursalin karya Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi (wafat 676 H)

7.      Kumpulan Hadits Hukum Fikih (Kutubul Ahkam)
Yaitu, buku-buku yang memuat tentang hadits-hadits hukum fikih saja, diantara yang terkenal adalah :
1.      Al-Ahkam, karya Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al-Maqdisi (wafat 600 H)
2.      Umdatul Ahkam’an Sayyidil Anam, karya Al-Maqdisi.
3.      Al-Iman fi Haditsil Ahkam, karya Muhammad bin Ali, yang dikenal dengan Ibnul Daqiq Al-‘Ied (wafat 702 H)
4.      Al-Ilham bi Alhaditsi Ahkam, kiarya Ibnu Daqiq Al-‘Ied juga, ringkasan dari kitab “Al-Iman”
5.      Al-Muntaqa fil Ahkam, karya Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani (wafat 652 H)
6.      Bulughul Maram min Adillati Ahkam, karya Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani (wafat 852 H)

Kitab-kitab tersebut telah disyarah dan sebagian diantaranya telah dicetak berulang kali, baik kitab aslinya atau dengan syarahnya. Diantara kitab yang sudah disyarah adalah :
1.      Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, karya As-Sha’ani
2.      Nailul Authar Syarh Al-Muntaqa, karya Asy-Syaukani

8.      Metode Merangkaikan Al-Majami’
Al-Majami’ jamak majma’ yaitu setiap kitab yang berisi kumpulan beberapa mushannaf dan disusun bedasarkan urutan mushannaf  yang telah dikumpulkan tersebut.

Di antara majami’ yang terkenal adalah :
1.      Jami’ Al-Ushul min Ahadits Ar-Rasul, karya Abu As-Sa’adat, dikenal dengan Ibnu Al-Atsir (wafat 606 H), di dalamnya berisi kumpulan Kutubus Sittah (kitab hadits yang enam) yaitu : Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i, dan yang keenam adalah Muwaththa’ Imam Malik sebagai ganti dari Ibnu majah, karena didalamnya banyak hadits-hadits dhaif.
2.      Majma’ Az-Zawa’id wa Manba’u Al-Fawa’id, karya Al-Hafidz Ali bin Abu Bakar Al-Haitsami (wafat 807 H), berisi kumpulan hadits-hadits dalam Musnad Ahmad, Musnad Abu Ya’la Al-Mushili, Musnad Abu Bakar Al-Bazzar, dan Mu’jam Ath-Thabarani yang tiga : Al-Mu’jam Al-Kabir, Al-Mu’jam Al-Aswath, dan Al-Mu’jam Ash-Shaghir, yang tidak terdapat dalam Kutubus Sittah.
3.      Jam’u Al-Fawa’id min Jami’ Al-Ushul wa Majma’ Az-Zawa’id, karya Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman Al-Maghribi (wafat 1094 H), yang merupakan kumpulan dari dua kitab yaitu: Kitab Ibnu Al-Atsir dan Kitab Al-Haitsami, dan ditambah dengan tambahan dari Musnad Ad-Darimi dan Sunan Ibnu Majah.

9.      Metode Al-Ajza’ (jamak dari juz )
Yaitu sebuah kitab kecil yang berisi kumpulan riwayat seorang perwai hadits, atau berkaitan denga satu permasalahan secara terperinci, seperti :
1.      Juz’u Ma Rawahu Abu Hanifah ‘an Ash-Shahabah, karya Ustadz Abu Ma’syar Abdul Karim bin Abdus Shamad Ath-Thabari.
2.      Juz’u Raf’il Yadain fi As-Shalat, karya Al-Bukhari.

10.  Metode Al-Athraf
Yaitu setiap kitab yang hanya menyebutkan sebagian hadits yang dapat menunjukkan lanjutan hadits yang dimaksud, kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad satu kitab ataupun sanad dari beberapa kitab. Para penulis biasanya menyusun urutannya berdasarkan musnad para sahabat dengan susunan nama sesuai huruf-huruf hijaiyah, lalu menyebutkan pangkal hadits yang dapat menunjukkan ujungnya, seperti hadits nabi : “Kullukum ra’in.....”, Buniyal Islamu ‘Ala Khamsin.....”, dan “Al-Imanu Bidh’un wa Sab’una Syu’batan....”, demikian seterusnya.

Kitab-kitab Athraf yang terkenal adalah :
1.      Athrafu Ash-Shahihain, karya Muhammad Khalaf bin Muhammad Al-Washiti (wafat 401 H)
2.      Al-Isyraf ‘Ala Ma’rifati Al-Athraf atau Athraf As-Sunan Al-Arba’ah karya Al-Hafidh Abul Qasim Ali bin Hasan, dikenal dengan sebutan Ibnu Asakir (571 H)
3.      Tuhfatul Asyraf bi Ma’rifatil Athraf atau Athraf Al-Kutub A-Sittah, karya Al-Hafizh Abul Hajjaj Yusuf bin Abdurrahman Al-Mizzi (wafat 742 H)
4.      Ithaful Maharah bi Athrafil Asyarah, karya Al-Hafizh Ahmad bin Ali Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (wafat 852 H). Al-Asyarah atau kitab yang sepuluh adalah : Muwaththa’, Musnad Asy-syafi’i, Musnad Ahmad, Musda Ad-Darimi, Shahih Ibnu Khuzaimah, Muntaqa Ibnul Jarud, Shahih Ibnu Hibban, Mustadrak Al-Hakim, Mustakhraj Abi Uwanah, Syarh Ma’ani Al’Athsar karya Ath-Thahawi, dan Sunan Ad-Daruquthni.
5.      Athraf Al-Masanid Al-Asyarah, karya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Al-Buwaishiri (wafat 840 H). Al-Asyarah atau musnad yang sepuluh adalah : Musnad Abu Dawud At-Thayalisi, Musnad Abu Bakar Al-Humaidi, Musnad Musaddad bin Musarhad, Musnad Muhamad bin Yahya Al-Adani, Musnad Ishaq bin Rahawaih, Musnad Abu Bakar bin Asy-Syaibah, Musnad Ahmad bin Mani’, Musnad ‘Abd bin Humaid, Musnad Al-Harits bin Muhammad bin Abi Usamah, dan Musnad Abi Ya’la Al-Murshili.
6.      Dzakha’ir Al-Mawarits fi Ad-Dalalah A’la Mawadhi Al-Hadits, ini merupakan kumpulan athraf ktubus sittah dan Muwaththa’ Imam Malik, karya Abdul Ghani An-Nabulsi (wafat 1143 H)

11.  Kumpulan Hadits-Hadits yang masyhur diucapkan di lisan atau tematik.
Pada beberapa kurun waktu, para ulama banyak memperhatikan penulisan hadits-hadits yang masyhur diucapkan di kalangan masyarakat, lalu mereka menjelaskan derajat hadits tersebut dari segi dhaif atau maudhu’nya, atau yang tidak jelas asalnya, meskipun sudah sedemikian masyhur. Di antara ulama juga ada yang memperhatikan penulisan hadits palsu secara khusus.

Buku-buku yang terkenal dalam hal ini antara lain :
1.      Al-La’ali Al-Mantsurah fi Al-Ahadits Al-Musytaharah min Ma Allafahu At-Thab’u wa Laisa Lahu Ashlun fi Asy-Syafi’i, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar (wafat 852 H)
2.      Al-Maqashid Al-Hasanah fi Bayani Katsirin Minal Ahadits Al-Musytaharah ‘alal Alsinah, karya Muhammad bin Abdurrahman A-Sakhawi (wafat 902 H)
3.      Ad-Durar Al-Muntatsirah fi Al-Ahadits Al-Musytaharah, karya Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 902 H)
4.      Tamyizu At-Thayyib min Al-Khabits fi Ma Yadhurru ‘ala Alsinati An-Nas min Al-Hadits, karya Abdurrahman bin Ali As-Syaibani (wafat 944 H)
5.      Kasyful Khala’ wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytaharah minal Ahadits ‘ala Alsinati An-Nas, karya Ismail bin Muhammad Al-Ajluni (wafat 1162 H)
6.      Asna Al-Mathalib fi Ahadits Mukhatalifil Maratib, karya Muhammad bin Darwisy, yang terkenal dengan nama Al-Huut Al-Bairuni (wafat 1276 H)
7.      Al-Maudhu’at, karya Ibnu Al-Jauzy (wafat 597 H)
8.      Al-Manar Al-Munif fi Ash-shahih wa Adh-Dhaif, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (wafat 751 H)
9.      Al-La’ali Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah, karya Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H)
10.  Al-Mashnu’ fi Ma’rifati Al-Hadits Al-Maudhu’, karya Allamah Nuruddin Ali bin Muhammad, atau dikenal dengan nama Al-Mullah Ali Al-Qari’ Al-Harawi (wafat 1014 H)
11.  Al-Asrar Al-Marfu’ah fi Al-Akhbar Al-Maudhu’ah, yang dikenal dengan, Al-Maudhu’ah Al-Kubra, karya Al-Mullah Al-Qari’.
12.  Al-Fawaid Al-Majmu’ah fi Ahadits Al-Maudu’ah, karya Asy-Syaukani (wafat 125 H)
13.  Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, karya Syaikh Nashirudin Albani.

12.  Metode Az-Zawa’id
Yaitu karya yang berisi kumpulan hadits-hadits tambahan terhadap hadits yang ada pada sebagian kitab-kitab yang lain.

Buku yang terkenal dalam bidang ini natara lain :
1.      Mishbah Az-Zujajah fi Zawa’id Ibnu Majah, karya Abu Abbas Ahmad bin Muhammad Al-Bushairi (wafat 84 H), bukan Al-Bushairi Muhammad binSaid (wafat 696 H) sang penyair menyusun “Al-Burdah”. Kitab ini mencakup tambahan Sunan Ibnu Majah atas lima kitab pokok yaitu: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan An-Nasa’i.
2.      Ithafu As-Sa’adah Al-Maharah Al-Khairah bi Zawa’idi Al-Masanid Al-‘Asyarah, karya Al-Bushairi juga yang merupakan tambahan terhadap kutubus sittah : Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi, Musnad Al-Humaidi, Musnad Musaddad bin Musarhad, Musnad Muhammad bin Yahya Adani, Musnad Ishaq bin Rahawaid, Musnad Abu Bakar bin Abu Syaibah, Musnad Aghmad bin Mani’, Musnad ‘Abd bin Humaid, Musnad Harits, Musnad Muhammad bin Abu Usamah, dan Musnad Abu Ya’la Al-Mushili.
3.      Al-Mathalib Al-‘Aliyah bi Zawa’idi Al-Masanid Ats-Tsamaniyah, karya Al-Hafizh Ahmad bin Ibnu Hajar Al-‘Azqalani (wafat 852 H), yang merupakan tambahan dari sepuluh musnad di atas kecuali Musnad Abu Ya’la Al-Mushili, Musnad Ishaq bin Rahawaid atas kutubus sittah dan Musnad Ahmad.
4.      Majma’ Az-Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, karya Al-Haritsami, yang telah kami sebutkan sebelumnya dalam Al-Majami’. Kitab ini beberapa buka hadits sehingga menyerupai majami’, dan karena berisi kumpulan hadits-hadits tambahan pada sebagian kitab, maka layak pul disebut zawa’id.


[1] Abu Dawud bab Fadhlu Nasr al-ilmu, 3:322, At-Turmudi, 5:33-34; Ibn Majjah,1;84
[2] Seperti kitab taqyiid ilmu karya al-khatib al-baghdadi, kitab as-sairal-hatsiitsfii taarikh tadwiin al-hadits karya muhammad zubair Ash-Shidiqi, kitab tadwin al-hadits dalam bahsa india karya munzhir hasan kailani.
[3] Dalam bab kitabat al-ilmu, 1:148; pada fathul bari, at-turmudzi, 5:40
[4] Mahmud ath-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hlm. 199.
[5] Shahih al-Bukhari, 1:27.
[6] Ulama yang hidup sebelum abad 4 H dinamakan ulama muttaqoddimi (Salaf atau Kelasik). Sedangkan Ulama yang hidup pada abad 4 H dinamakan Ulama Mutaakhirin.
[7] Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2016), Penerjemah. Mifdhol Abdurrahman, cet. IX, hlm. 54-65.
[8] Ar-Risalah Al-Mustathrafah hal 46-47.
[9] Bukan Abu Dawud Sulaiman bin As-Asy’ats As-Sijistani penysun selain Abu Dawud.
[10] Ulum Al-Hadits hal 15.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Term Dalam Logika

Tafsir bir Ra'yi

ALAM KUBUR DALAM PERSPEKTIF HADIS