PEMBUKUAN ILMU HADIS
- Kelahiran Ilmu Hadits
Tahap ini berlangsung pada masa Nabi sampai penghujung abad pertama hijriah, ketika Nabi Muhammad
Saw. Wafat, para sahabatlah yang membawa panji-panji Islam. Kafilah ini
berjalan mengawalinya demi menyelamatkan kemanusiaan dan menyampaikan segala
sesuatu yang daiajarkan oleh rasul Saw. Waktu itu mereka telah menghafal
Al-Qur’an dengasn sempurna seperti halnya mereka menguasai dan memlihara hadits
Nabi.
Diantara faktor pendukung pemeliharaan hadits yang
paling penting adalah sebagai berikut:
1.
kejernihan hati dan daya ingatnya
hafalan.
Kesederhanaan kehidupan dan jauhnya mereka dari
peradaban kota dengan segala permasalahannya menjadikan mereka berhatti jernih.
Karena itu mereka dikenal sebagi bangsa yang kuat hafalannya dan kecerdasan
mereka sangat mengagumkan. Dengan sekali dengar mereka dapat mengahafsal
syair-syair yang panjang, khotbah, dan yang lainnya.
2.
Minat yang kuat terhadap agama
Para sahabat yakin bahwa tidak ada kebahagiaan di
dunia dan akhirat dan tidak ada jalan menuju kemuliaan dan kedudukan yang
terhormat diantara umat yang lain kecuali dengan islam ini. Karenanya mereka
mempelajari seluruh hadits dengan penuh perhatian. Juga diperkuat dengan
himbauan Rasulullah kepada mereka agar menghafal hadits dan menyampaikannya
kepada orang-orang. Misalnyua hadits Zaid bin Tsabit berkata: “saya mendengar
rasululla Saw. Bersabda “semoga Alla memperindah wajah orang yang mendengar
ucapan ku lalu menyampaikannya. Mungkin saja orang yang membawa (informasi)
fiqih itu bukanlah seorang faqih, dan bisa saja orang yang memebawa (informasi)
fiqih menyampaikannya kepada orang yang lebih faqih dari padanya (HR.Abu Dawud
Al-Turmudzi dan Ibn Majjah).[1]
Dengan demikian, pemeliharaan
hadist wajib hukumnya, agar umat Islam bebas dari tuntutan penyampaiannya yang
telah diperintahkan Rasulullah Saw.
3.
kedudukan Hadist dalam Agama Islam
Hadist merupakan sendi asas yang telah membentuk pola
piker para sahabat sikap, perbuatan, serta etika mereka. Sebab mereka
senantiasa tunduk dan patuh kepada Rasulullah Saw dalam segala hal. Setiap kali
mereka mendengar sebuah hadist dari Nabi Saw maka kalimat itu akan mendarah
daging dan menjelma dalam perilaku mereka. Hal seperti itu tidak diragukan lagi
akan menyebabkan mereka hafal dan menutup kemungkinan untuk lupa.
4.
Nabi tahu bahwa para sahabat akan
menjadi pengganti Beliau dalam mengemban amanah dan menyampaikan risalah.
Beliau menempuh beberapa metode dalam menyampaikan
hadis kepada mereka dan menempuh jalan hikmah agar mereka benar-benar mampu
mengemban tanggung jawab. Diantara cara beliau berbicara adalah sebagai berikut:
a)
Beliau tidak menyampaikan
hadis secara beruntun melainkan sedikit demi sedikit, agar dapat meresap dalam
hati.
b)
Beliau tidak berbicara panjang
lebar melainkan dengan sederhana.
c)
Beliau sering mengulangi
pembicaraannya agar dapat ditanggap oleh hati orang-orang yang mendengarkannya.
5.
cara Nabi SAW menyampaikan hadis
Rasulullah dianugrahi kemampuan yang jarang dimiliki
orang lain dalam menjelaskan suatu masalah. Tidak diragukan lagi bahwa penjelasan
yang baligh akan dapat menguasai hati oaring yang mendengarkannya. Lalu
bagaimana kiranya jika orang yang mendengarkannya adalah orang-orang yang
menguasai balaghoh.
6.
Penulisan Hadis
Penulisan
adalah suatu media terpenting bagi pemeliharaan ilmu pengetahuan dan penyebaran
kepada masyarakat luas tidak terkecuali penulisan hadis, meskipun terdapat
sejumlah riwayat yang berbeda dan
pandangan yang beraneka ragam. Berkenaan dengan penulisan hadis telah
lahir sejumlah kitab baik di zaman dahulu maupun dizaman belakangan.[2]
Diriwayatkan dalam shahih
al-bukhari[3]
dari Abu Hurairah R.A. katanya “tidak seorang pun dari sahabat Nabi yang lebih
banyak dariku dalam meriwayatkan hadis, kecuali Abdullah bin Amr. Dahulunya ia
menulis sedangkan aku tidak.”
- Periode Perkembangan Penulisan Hadis
Kami akan membagi peroide
penulisan hadis ke dalam 5 periode:
- Periode Nabi Muhammad SAW.
Pada zaman Rasul hadis belum mendapatkan khusus karena
mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang jika
hadis tidak diabadikan dalam bentuk tulisan. Hal ini dikarenakan para sahabat
berpegang pada sahabat Nabi “jangan kamu tulis sesuatu yang kamu telah dari ku
selain Al-Qur’an. Barang siapa yag menuliskan yang ia terima dariku selain
Al-Qur’an hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dari ku, tidak
mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas nama ku maka hendaklah ia
menduduki ia tempatnya di neraka.” HR. Muslim
Larangan penulisan hadis ini
bukanlah tanpa sebab, Rasulullah menghindarkan adanya kemungkinan sebagian
sahabat menulis wahyu memasukan hadis kedalam lembaran tulisan Al-Qur’an.
Periode ini disebut dengan ‘Ashr Al Wahyi wa At Taqwin’ (masa turunya wahyu dan
pembentukan masyarakat Ilsam). Pada periode ini para sahabat mulai pandai dalam
baca tulis hanya saja sifatnya masih terbatas. Oleh karnanya, nabi menekankan untuk mengahafal,
memahami, memelihara, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ajaj
Al-Khatib menjelaskan, bahwa proses terjadinya hadis bisa jadi timbul dari
berbagai sisi yakni ada 3 sisi:
1. Terjadi pada Nabi
sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat dan kemudian para sahabat
sampaikan kepada sahabat lain. Misalnya, suatu ketika Nabi melewati pedagang
makanan dalam karung, beliau memasukan tangannya ternyata masih basah, lantas
beliau bersabda:
ليس منا
من غش
Tidak tergolong umatku
(umat yang mendapat petunjuk) manusia yang menipu. (HR. Ahmad)
2. Terjadi pada sahabat
atau kaum muslimin karena mengalami suatu problem masalah kemudian bertanya
kepada Rasulullah. Banyak sekali hadis yang timbul disebabkan dari pertanyaan
seorang sahabat, kemudian menjawab dan memberi penjelasan-penjelasan.
3. Segala perbuatan dan
tindakan Nabi dalam melaksanakan syariah Islamiyah baik menyangkut ibadah dan
akhlak yang disaksikan para sahabat, kemudian mereka sampaikan kepada para
tabiin.
Hadis pada
waktu itu hanya diingat dan dihafal oleh mereka tidak ditulis seperti Al-Qur’an
karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Dr. Musthafa As-Siba’i
menyampaikan beberapa alasan diantaranya:
1. Al-Qur’an masih turun
kepada Nabi dan kondisi penuliasannya masih sangat sederhana ditulis diatas
pelepah kurma, kulit, tulang binatang, dan batu-batuan, dan belum dibukukan.
(Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar dan Umar)
2. Kemampuan tulis
menulis bagi para sahabat pada awal Islam masih sangat langka dapat dihitung
dengan jari dan mereka sudah difungsikan sebagai penulis wahyu Al-Qur’an.
3. Ingatan orang-orang
Arab yang dikenal bersifat ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuat dan
diandalkan Rasul untuk mengingat hadis.
- Periode Sahabat (12-98 H)
Setelah Nabi Muhammad wafat para
sahabat belum memikirkan pengkodifikasian hadis, karena masih banyak
masalah-masalah yang dihadapi diantaranya timbulnya kelompok orang murtad,
timbulnya peprangan sehimgga banyak penghafal al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi
mereka bersama Abu Bakar adalah membekukan al-Qur’an. Abu bakar pernah
berkeinginan membukukan sunnah tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah
ditangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Al-Hakim menceritakan bahwqa
Aisyah R.A. berkata: “ayahku menghimpun 500 hadis, semalaman beliau bolak-balik
memeriksanya, ketika pagi beliau meminta hadis-hadis yang ada ditanganku untuk
dibakar dan berkata “aku khawatir jika aku mati sementara hadis-hadis itu masih
ditangan mu dari orang-orang yang terpercaya tetapi tidak diriwayatkan
sebagaimana mestinya.” Umar bin Khatab juga pernah ingin mencoba menghimpun
hadis namun sama seperti Abu Bakar. Umar khawatir dalam pembukuan hadis akan
menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab
Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para
Nabi mereka didalam kitab tuhan mereka. Jadi Abu Bakar dan Umar tidak berarti
melarang pengkodikasian hadis tetapi melihat kondisi pada masanya belum
memungkinkan untuk itu.
Hukum
kebolehan menulis hadis terjadi secara berangsur-angsur. Pada saat wahyu turun,
umat Islam menghabiskan waktunya untuk menghafal dan menulis al-Qur’an. Sunnah
hannya disimpan dalam dada mereka, disampaikan dari lisan ke lisan dan
diperaktekan dalam kehidupan mereka sesuai dengan apa yang mereka lihat dan
mereka dengar dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian setelah al_Qur’an dapat
terpelihara dangan baik, mereka telah mampu membedakannya dengan catatan
sunnah, dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan al-Qur’an, para ulama sepakat
bolehnya penulisan dan pengkodefikasian sunnah. Hasil penelitian Musthafa
al-A’zami membuktikan tidak sedikit para sahabat dan tabiin yang menulis hadis
sebagai dokumentasi sejarah, yaitu mencapai antara 52 orang sahabat atau 53
orang sahabat, sedangkan Abdul Maujud mencatat 50 orang sahabat diantara
sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan hadis ialah:
1. Abu Hurairah, sebanyak
5.374 buah hadis.
2. Abdullah bin Umar,
sebanyak 2.635 buah hadis.
3. Annas bin Malik,
sebanyak 2.286 buah hadis.
4. Aisyah, sebanyak 2.210
buah hadis.
5. Abdullah bin Abbas,
sebanyak 1.660 buah hadis.
6. Jabir bin Abdullah,
sebanyak 1.540 buah hadis[4]
Pada masa Ali, timbul perpecahan
dikalangan umat Islam akibat konflik politik antar pendukung Ali dan Muawiyah.
Umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu khawarij, Syiah dan Jumhur
Muslimin. Akibat perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat hadis palsu
untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan atau
partai-partai dan untuk mencarai dukungan dari umat Islam.sebab perpecahan ini
pula masing-masing kelompok menolak hadis yang diriwayatkan olah kelompok
lawannya karena masing-masing memiliki persyaratan shahih tertentu.
Ulama dikalangan sahabat tidak tinggal diam dalam
menghadapi pemalsuan hadis-hadis tersebut. Mereka berusaha menjaga kemurnian
hadis dengan serius dan sungguh-sungguh, diantranya mengadakan perlawatan
kedaerah Islam untuk mengecek kebenaran hadis yang telah sampai kepada mereka
baik dari segi matan maupun sanad. Faktor lain yang menyebabkan para sahabat
mengadakan perlawatan adala untuk mencari hadis karena para sahabat senior
pasca Khulafaurrasyidin telah berpindah ke berbagai kota lain. Misalnya yang
dilakukan Jabir bin Abdullah yang pernah melakukan rihlah ke Syam dalam waktu
satu bulan dengan menjual seekor unta untuk ongkos transportasi hanya karena
ingin mendapatkan satu buah hadis yang belum pernah ia dengar dari Abdullah bin
Unais tentang hadis:
ÙŠَخشُرُ الله تَبَارَÙƒَ Ùˆَ تَعَالَÙ‰ العِبَادَ
Allah akan mengumpulkan hamba-hambanya.
(HR. Al-Bukhari, Ahmad, Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).
Dari berbagai keterangan diatas
dapat disimpulkan bahwa, telah banyak didapatkan catatan atau penulisan hadis
sebelum pengkodifikasian secara resmi berdasarkan instruksi seorang khalifah.
Di antara dokumentasi penting adalah sebagai berikut:
a. Masa Tabiin
Pada dasarnya periayatan yang dilakukan oleh kalangan
tabiin tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hanya saja
persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat.
Pada, masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Ketika
pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasaaan Islam sampai
meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika, Bashrah, Syam, dan Khurasan. Penyebaran
para sahabat kedaerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini
dikenal dengan masa penyebarannya periwayatan hadis(intisyar al-riwayah ila al-amshar).
Umar bin Abdul Aziz adalah seorang Khalifah dari bani
Umayyah yang terkenal adil dan wara. Beliau sangat waspada dan sabar, bahwa
para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya,
karena meningagal dunia. Beliau hadir apabila tidak segera dikumpulkan dan
dibukukan dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama
lenyapnya para penghafalnya. Pada tahun 100 H, beliau memerintahkan kepada
gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm supaya membukukan
hadis-hadis nabi yang terdapat pada para penghafal hadis Nabi.
Al-Bukhari
meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Hazm
yang berisi:”perhatikanlah Hadis-hadis Rasulullah Saw. yang kau jumpai dan
tulislah, karena aku sangat khawatir akan terhapusnya ilmu, sejalan dengan
hilangnya ulama.[5]
Kemudian
al-Zuhri, Abu Bakar bin Abdurrahman, dan lainnya menulis dan membukukan
hadis-hadis yang dapat mereka jumpai di wilayah masing-masing. Saat itu
kitab-kitab hadis belum disusun secara sistematis melainkan sekedar dihimpun
dalam kitab-kitab jami’ dan mushannaf; seperti Jami’ Ma’mar bin Rasyid(w.154 H), Jami’ Sufyan al-Tsaufi(w.161 H), Mushanniaf Adurrazaq(w. 211 H), dan Mushannaf Hammad bin Salamah. Imam Malik menyusun kitabnya Al-Muwaththa’. Kitab paling penting saat
itu, tetapi jumlah hadisnya masih sedikit, hanya sekitar lima ratus hadis
ditambah dengan sejumlah pendapat para sahabat dan tabiin.
Kitab-kitab
tersebut mencakup hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqthu’ karena maksud dalam
penyusunan tersebut adalah sekedar untuk menghmpun dan memelihara hadis.
Karenanya mereka sangaat longgar dalam periwayatannya, sehingga untuk setiap
masalah mereka mencantumkan semua hadis yang relevan yang didapatkannya, dengan
seluruh sanadnya sampai kepada sumbernya.
Pada abad ke tiga,
periode ini sejak masa akhir pemerintahan Bani Abbasiyah angkatan pertama
(Khalifah Al Makmun) samapai awal pemerintahan Bani Abbasiyah angkatan kedua
(Khalifah Al-Muqtadir)
a.
Kegiatan Para Ulama Hadis
Kitab hadis yang ada berisi campuran antara hadis yang
shahih dan dhaif. Begitu pula belum dipisahkan antara hadis yang marfu’, mauquf, dan maqthu. Pada awal
abad ketiga hijriah dilakukan upaya penyempuranaan berupa kegiatan sebagai
berikut:
1.
Mengadakan perlawatan ke
daerah-daerah yang jauh, usaha ini dipelopori oleh imam Bukhari. Selama 16
tahun beliau melakukan perlawatan ke kota makkah, madinah, bagdad, basrah,
kuffah, mesir, damaskus, naisabur dan sebagainya. Kemudian di ikuti oleh Imam
Muslim, Abu Dawud, At-Turmudzi, An-nasa’I dan lain-lain.
2.
mengadakan klasifikasi antar hadis
marfu’ mauquf dan yang maqthu.
3.
mengadakan seleksi kulitas hadis
antara yang shahih dan yang dhaif. Usaha ini dipelopori oleh Ishaq bin
ruhawaih. Kemudian dilanjutkan oleh Bukhari, Muslim, Abu dawud, At-turmudzi,
An-Nasa’I, Ibnu majjah dan lain-lain.
4.
menghimpun kritik yang dilontarkan
para ahli ilmu kalam dan lain-lain, baik kritik yang ditujukan kepada pribadi
perawi maupun matan hadis. Salah seorang ulam yang melakukan ini adalah Ibnu
Qutaibah dengan mnyusun kitab ta’wilu mukhtalif al hadits fii raddi ala ada’ al
hadits.
5.
menyusun kitab hadits berdasarkan
tema dan masalah sehingga memiliki bab sesuai dengan masalah tertentu. Ulama
yang merintis metode ini adalah Bukhari, kemudian diikuti muridnya yaitu
Muslim. Sesudah itu baru diikiuti oleh Abu Dawud At-Turmudzi dan lain-lain.
Pada Periode Ke Empat, Periode
ini dimulai pada masa Bani Abasiyah kedua (Khalifah Al-Muqtadir). Periode ini
disebut juga dengan istilah periode Ulama Muta’akhirin.[6]
- Metode Pembukuan dan Karya Terpopulernya[7]
Ada beberapa metode
yang dilakukan para ahli hadis dalam penyusunan hadis. Berikut ini kami akan
mencoba menyampaikan beberapa metode pembukuan hadis beserta karya
terpopulernya:
1. Metode Masanid
Al-Masanid,
jamak dari sanad maksudnya: Buku-buku yang telah berisi tentang kumpulan hadits
setiap sahabat secara tersendiri, baik hadits shahih, hasan, atau dhaif. Dan
bedasarkan Urutan para sahabat di dalam musnad kadang bedasarkan huruf hijaiyah atau alfabet- sebagaimana dilakukan
oleh banyak ulama-, dan ini paling mudah dipahami, kadang juga berdasarkan kabila
dari suku, atau berdasarkan yang paling dahulu masuk islam berdasarkan negara.
Al-Masanid
yang dibuat oleh para ulama hadits jumlahnya banyak
Al-Kittani dalam kitabnya Ar-Risalah Al-Mustathrafah menyebutkan
jumlahnya sekitar sebanyak 82 musnad, kemudian berkata, “Musnad itu jumlahnya
banyak selain yang telah kami sebutkan.[8]
Adapun
musnad-musnad yang paling terkenal adalah :
1. Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud
AT-Thayalisi (wafat 204 H)[9]
2. Musnad Abu Bakar Abdullah bin Az-Zubair
Al-Humaidy (wafat 219 H)
3. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H)
4. Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amru
Al-Bazzar (wafat 292 H)
5. Musnad Abu Ya’la Ahmad bin Ali
Al-Mutsana Al-Mushili (wafat 307 H)
Selain mencakup semua hadits
dan tidak berurutan pada bab fikih, karena urutan tersebut harus menggambungkan
musnad setiap sahabat tanpa melihat obyek pembahasan riwayatnya. Hal ini
akan mempesulit bagi orang yang ingin mempelajarinya karena kesulitan
mendapatkan hadits-hadits hukum fikih itu sendiri atau hadits-hadits tentang
suatu masalah.
2. Metode Al-Ma’ajim
Al-Ma’ajim
adalah jamak dari mu’jam. Adapun menurut
istilah para ahli hadits adalah: Buku yang berisi kumpulan hadits-hadits yang
berurutan berdasarkan nama-nama sahabat, atau guru-guru penyusun, atau negeri,
sesuai dengan dengan huruf hijaiyah.
Adapun
kitab-kitab mu’jam yang terkenal, antara lain :
1. Al-Mu’jam Al-Kabir,
karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad At-Thabarani (wafat 306 H), adalah berisi
musnad-musnad para sahabat yang disusun berdasarkan huruf mu’jam (kamus),
kecuali musnad Abu Hurairah karena disendirikan dalam satu buku dan berisi
60.000 Hadits.
2. Al-Mu’jam Al-Awsath,
karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad At-Thabarani, disusun berdasarkan nama-nama
gurunya yang jumlahnya sekitar 2000 orang dan didalamnya terdapat 30.000
hadits.
3. Al-Mu’jam As-Shaghir,
karya At-Thabarani juga berisi 1000 orang dari para gurunya, kebanyakan setiap
satu hadits diriwayatkan dari satu gurunya. Ada yang mengatakan: berisi 20.000
hadits.
4. Al-Mu’jam Al-Buldan,
karya Abu Ya’la Ahmad bin Al- Al-Mushili (wafat 307 H)
3. Metode Pengumpulan Hadits Berdasarkan
Semua Bab Pembahasan Agama, Seperti Kitab-Kitab Al-Jawami’
Al-Jawami’
jamak dari jaami’. Sedang Jawami’ dalam karya
hadits adalah apa yang disusun dan dibukukan oleh pengarangnya terhadap semua
pembahasan agama. Maka dalam kitab semodel ini, Anda akan menemukan ba ini
tentang iman (akidah), thaharah, ibadah, muamalat, pernikahan, sirah, riwayat
hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa, fitnah, dll.
Kitab-kitab
Jami’ yang terkenal adalah:
1.
Al-Jami’
Ash-Shahih, karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail Al-Bukhari (wafat 256 H), orang yang pertama menyusun dan membukukan
hadits shahih, akan tetapi belum mencakup semuanya. Kitab ini disusun
berdasarkan urutan bab, diawali dengan Kitab Bad’u Al-Wahyu, dan Kitabul
Iman. Kemudian dilanjutkan dengan Kitab Ilmi ada 97 kitab.
Kitab Shahih Bukhari ini
mendapatkan perhatian yang cukup besar dari para ulama, diantaranya dengan
membuat syarahnya, dan syarh yang paling baik adalah kitab Fathul Bari bi
Syarhi Shalihi Al-Bukhari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat
852 H), dan Umdatul Qari, karya Bahrudin Al-Aini (wafat 855 H), dan Irsyadus
Sari Ila Shahihi Al-Bukhari, karya Al-Qasthalani (wafat 922 H).
2.
Al-Jami’
Ash-Shahih, karya Imam Abdul Husain Muslim bin
Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi (wafat 261 H), berisi kumpulan riwayat hadits
yang shahih saja sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh Imam Muslim, dimulai
dengan Kitab Tafsir .Jumlah semuanya ada 54 Kitab.
Shahih Muslim juga mendapat
penerimaan dan perhatian yang sangat besar oleh para ulama, diantaranya dengan
cara membuat syarh terhadap kitab tersebut. Di antara ktab syar yang terbaik
adalah : “Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj” karya
Al-Qadhi’ Iyadh (wafat 544 H), dan kitab “Ad-Dibaj ‘Ala Shahih Msulim bin
Al-Hajjaj” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi
(wafat 911 H).
3.
“Al-Jami’
Ash-Shahih” karya Imam Abu Isa Muhamad bin Isa
At-Tirmidzi (wafat 274 H), merupakan kumpulan hadits shahih, hasan, dan dhaif.
Di antara syarh dari kitab Tirmidzi
ini : “Aridhatul Ahwadzi ‘Ala At-Tirmidzi”[10]
karya al-Hafidz Abu Bakar Muhammad bin Abdullah Al-Isybili, atau dikenal dengan
Ibnu Arabi Al-Maliki (wafat 543 H). Kemudian disyarh oleh al-Hafidz Abdurrahman
bin Ahmad Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat 795 H).
Kitab Al-Jami’ Ash-Shahih” ini biasanya dinamakan dengan “Sunan
At-Tirmidzi”.
4.
Metode Penulisan Hadits Berdasarkan Pembahasan Fikih
Karya ini tidak
mencakup semua pembahasan agama, tetapi sebagian besarnya saja, khususnya
masalah fikih. Metode ini digunakan untuk menyebutkan bab-bab fikih secara
berurutan, dimulai dari kitab Thaharah kemudian kitab Shalat, Ibadah, Muamalat,
dan seluruh bab yang berkenaan dengan hukum dan ibadah.
Karya terkenal dengan metode ini :
1. “As-Sunan”
yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan bab-bab
tentang fikih, dan hanya memuat hadits yang marfu’
saja agar dijadikan sebagai sumber fuqaha’ dalam mengambil kesimpulan
hukum.
Dalam As-Sunan tidak terdapat pembahasan tentang akidah, sirah, manaqid, dan lain sebagaimana, tapi
hanya terbatas pada masalah fikih dan hadits-hadits hukum saja.
Kitab-kitab “As-Sunan” yang terkenal adalah :
a. “Sunan
Abi Dawud”, karya Sulaiman bin Asy’ats
As-Sijistani (wafat 275 H)
b. “Sunan
An-Nasa’i”, yang dinamakan dengan “Al-Mujtaba”, karya Abdurrahman Ahmad
bin Syu’aib An-Nasai (wafat 303 H)
c. “Sunan
Ibnu Majah”, karya Muhammad bin Yazid bin Majah
Al-Qazwini (wafat 275 H)
d. “Sunan
As-Syafi’i”, karya Muhammad bin Idris As-Syafi’i
(wafat 204 H)
e. “Sunan
Ad-Darimi”, karya Abdullah bin Abdurrahman
Ad-Darimi (wafat 255 H)
f. “Sunan
Ad-Daruquthni”, karya Ali bin Umar Ad-Daruquthni
(wafat 385 H)
g. “Sunan
Al-Baihaqi”, karya Abu Bakar Muhammad bin Husein
Al-Baihaqi (wafat 458 H)
2. Al-Mushannafat,
jamak mushannaf . Menurut istilah
ahli hadits adalah sebuah kitab yang disusun berdasarkan urutan bab-bab tentang
fikih, yang meliputi hadits marfu’,
mauquf, dan mauquf, atau
didalamnya terdapat hadits-hadits Nabi, perkataan sahabat, fatwah-fatwah
tabi’in, dan terkadang fatwah tabi’ut tabi’in.
Karya-karya yang terkenal dalam
metode ini adalah :
a. “Al-Mushannaf”
karya Abu Bakar Abdurrazaq bin Hammam Ash-Shan’ani
(wafat 211 H)
b. “Al-Mushannaf”
karya Abu Bakar Abdullah bin Muhamad bin Abi Syaibah
Al-Kufi (wafat 235 H), terdapat beberapa juz bagian darinya.
c. “Al-Mushannaf”
karya Baqiyy bin Makhlad Al-Qurthubi (wafat 276 H)
3. Al-Muwaththa’at,
jamak dari muwaththa’. Menurut
istilah ahli hadits adalah sebuat kitab yang tersusun berdasarkan urutan
bab-bab fikih dan mencangkup hadits-hadits marfu’,
mauquf, dan maqthu’, sama seperti
mushannaf, meskipun namanya berbeda.
Karya-karya muwaththa’at yang terkenal :
a. Al-Muwaththa’
karya Imam Malik bin Anas Al-Madani (wafat 179 H),
dicetak berulang kali.
b. Al-Muwaththa’
karya Ibnu Abi Dzi’b Muhamad bn Abdurrahman
Al-Madani (wafat 158 H)
c. Al-Muwaththa’
karya Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Marwazi
(293 H)
5.
Kitab-kitab yang Penyusunan Menyatakan Komitmen
Hanya Menuliskan Hadit-Hadits yang Shahih
Selain
metode-metode ini penyusunan yang telah disebutkan di atas, sebagian ulama
tetap komitmen menyusun kitab-kitab shahih, dan diantaranya: Shahih Al-Bukhari,
Shahih Muslim, Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, dan Al-Mustadrak karya Al-Hakim.
Selain kitab-kitab yang telah disebutkan ada beberapa kitab yang disusun dengan
kriteria shahih oleh penulisnya :
1. “Shahih
Ibnu Khuzaimah” karya Abi Abdillah Muhammad bin
Ishaq bin Khuzaimah bin Al-Mughirah As-Sulumi An-Naisaburi, guru Ibnu
Hibban (wafat 311 H)
2. “Shahih
Ibnu Hibban” karya Abu Hatim Muhammad bin Hibban
(wafat 354 H)
6.
Metode Karya Tematik
Sebagian ahli
hadits menyusun karya-karya tematik yang terbatas pada hadits-hadits tertentu
berkaitan dengan tema tertentu, diantaranya :
1. At-Targhib
wa At-Tarhib : kitab-kitab hadits yang berisi
kumpulan hadits tentang taghrib (motivasi)
terhadap perintah agama, ataupun tarhib (ancaman)
terhadap larangan-nya.
Karya-karya tentang hal ini antara
lain :
a. At-Targhib
wa At-Tarhib, karya Zakiyuddin Abdul Azzim bin Abdi
Qawiy Al-Mundziri (wafat 656 H)
b. At-Targhib
wa At-Tarhib, karya Abi Hafsh Umar bin Ahmad atau
nama lain Ibnu Syahin (wafat 385 H)
2. Buku tentang kezhuhudan, keutamaan amal,
adab, dan akhlaq, antara lain :
a. Kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H)
b. Kitab Az-Zuhd karya Abdullah bin Al-Mubarak (wafat 181 H)
c. Kitab Akhlaq An-Nabi karya Abi Syaikh Abi Muhamad Abdullah bin Muhamad
Al-Ashbahani (wafat 369 H)
d. Kitab Riyadh As-Shalihin min Kalam Sayyid Al-Mursalin karya Abi Zakaria
Yahya bin Syaraf An-Nawawi (wafat 676 H)
7.
Kumpulan Hadits Hukum Fikih (Kutubul Ahkam)
Yaitu, buku-buku
yang memuat tentang hadits-hadits hukum fikih saja, diantara yang terkenal
adalah :
1. Al-Ahkam,
karya Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al-Maqdisi (wafat 600 H)
2. Umdatul
Ahkam’an Sayyidil Anam, karya Al-Maqdisi.
3. Al-Iman
fi Haditsil Ahkam, karya Muhammad bin Ali, yang
dikenal dengan Ibnul Daqiq Al-‘Ied (wafat 702 H)
4. Al-Ilham
bi Alhaditsi Ahkam, kiarya Ibnu Daqiq Al-‘Ied juga,
ringkasan dari kitab “Al-Iman”
5. Al-Muntaqa
fil Ahkam, karya Abdus Salam bin Abdullah bin
Taimiyah Al-Harrani (wafat 652 H)
6. Bulughul
Maram min Adillati Ahkam, karya Al-Hafidz Ahmad
bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani (wafat 852 H)
Kitab-kitab
tersebut telah disyarah dan sebagian diantaranya telah dicetak berulang kali,
baik kitab aslinya atau dengan syarahnya. Diantara kitab yang sudah disyarah
adalah :
1. Subulus
Salam Syarh Bulughul Maram, karya As-Sha’ani
2. Nailul
Authar Syarh Al-Muntaqa, karya Asy-Syaukani
8.
Metode Merangkaikan Al-Majami’
Al-Majami’
jamak majma’ yaitu
setiap kitab yang berisi kumpulan beberapa mushannaf
dan disusun bedasarkan urutan mushannaf
yang telah dikumpulkan tersebut.
Di antara majami’ yang terkenal adalah :
1. Jami’
Al-Ushul min Ahadits Ar-Rasul, karya Abu As-Sa’adat,
dikenal dengan Ibnu Al-Atsir (wafat 606 H), di dalamnya berisi kumpulan Kutubus Sittah (kitab hadits yang enam)
yaitu : Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi,
Sunan An-Nasa’i, dan yang keenam adalah Muwaththa’ Imam Malik sebagai ganti
dari Ibnu majah, karena didalamnya banyak hadits-hadits dhaif.
2. Majma’
Az-Zawa’id wa Manba’u Al-Fawa’id, karya Al-Hafidz Ali
bin Abu Bakar Al-Haitsami (wafat 807 H), berisi kumpulan hadits-hadits dalam
Musnad Ahmad, Musnad Abu Ya’la Al-Mushili, Musnad Abu Bakar Al-Bazzar, dan
Mu’jam Ath-Thabarani yang tiga : Al-Mu’jam
Al-Kabir, Al-Mu’jam Al-Aswath, dan Al-Mu’jam
Ash-Shaghir, yang tidak terdapat dalam Kutubus
Sittah.
3. Jam’u
Al-Fawa’id min Jami’ Al-Ushul wa Majma’ Az-Zawa’id,
karya Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman Al-Maghribi (wafat 1094 H), yang
merupakan kumpulan dari dua kitab yaitu: Kitab Ibnu Al-Atsir dan Kitab
Al-Haitsami, dan ditambah dengan tambahan dari Musnad Ad-Darimi dan Sunan Ibnu
Majah.
9.
Metode Al-Ajza’
(jamak
dari juz )
Yaitu sebuah
kitab kecil yang berisi kumpulan riwayat seorang perwai hadits, atau berkaitan
denga satu permasalahan secara terperinci, seperti :
1. Juz’u
Ma Rawahu Abu Hanifah ‘an Ash-Shahabah,
karya Ustadz Abu Ma’syar Abdul Karim bin Abdus Shamad Ath-Thabari.
2. Juz’u
Raf’il Yadain fi As-Shalat, karya Al-Bukhari.
10.
Metode Al-Athraf
Yaitu setiap
kitab yang hanya menyebutkan sebagian hadits yang dapat menunjukkan lanjutan
hadits yang dimaksud, kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad satu
kitab ataupun sanad dari beberapa kitab. Para penulis biasanya menyusun
urutannya berdasarkan musnad para sahabat dengan susunan nama sesuai
huruf-huruf hijaiyah, lalu menyebutkan pangkal hadits yang dapat menunjukkan
ujungnya, seperti hadits nabi : “Kullukum
ra’in.....”, Buniyal Islamu ‘Ala Khamsin.....”, dan “Al-Imanu Bidh’un wa Sab’una Syu’batan....”, demikian seterusnya.
Kitab-kitab Athraf yang terkenal adalah :
1. Athrafu
Ash-Shahihain, karya Muhammad Khalaf bin Muhammad
Al-Washiti (wafat 401 H)
2. Al-Isyraf
‘Ala Ma’rifati Al-Athraf atau Athraf As-Sunan Al-Arba’ah karya
Al-Hafidh Abul Qasim Ali bin Hasan, dikenal dengan sebutan Ibnu Asakir (571 H)
3. Tuhfatul
Asyraf bi Ma’rifatil Athraf atau Athraf Al-Kutub A-Sittah, karya
Al-Hafizh Abul Hajjaj Yusuf bin Abdurrahman Al-Mizzi (wafat 742 H)
4. Ithaful
Maharah bi Athrafil Asyarah, karya Al-Hafizh Ahmad
bin Ali Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (wafat 852 H). Al-Asyarah atau kitab yang sepuluh adalah : Muwaththa’, Musnad
Asy-syafi’i, Musnad Ahmad, Musda Ad-Darimi, Shahih Ibnu Khuzaimah, Muntaqa
Ibnul Jarud, Shahih Ibnu Hibban, Mustadrak Al-Hakim, Mustakhraj Abi Uwanah, Syarh Ma’ani Al’Athsar karya
Ath-Thahawi, dan Sunan Ad-Daruquthni.
5. Athraf
Al-Masanid Al-Asyarah, karya Abul Abbas
Ahmad bin Muhammad Al-Buwaishiri (wafat 840 H). Al-Asyarah atau musnad yang sepuluh adalah : Musnad Abu Dawud
At-Thayalisi, Musnad Abu Bakar Al-Humaidi, Musnad Musaddad bin Musarhad, Musnad
Muhamad bin Yahya Al-Adani, Musnad Ishaq bin Rahawaih, Musnad Abu Bakar bin
Asy-Syaibah, Musnad Ahmad bin Mani’, Musnad ‘Abd bin Humaid, Musnad Al-Harits
bin Muhammad bin Abi Usamah, dan Musnad Abi Ya’la Al-Murshili.
6. Dzakha’ir
Al-Mawarits fi Ad-Dalalah A’la Mawadhi Al-Hadits,
ini merupakan kumpulan athraf ktubus
sittah dan Muwaththa’ Imam Malik, karya Abdul Ghani An-Nabulsi (wafat 1143
H)
11.
Kumpulan Hadits-Hadits yang masyhur diucapkan di
lisan atau tematik.
Pada beberapa
kurun waktu, para ulama banyak memperhatikan penulisan hadits-hadits yang
masyhur diucapkan di kalangan masyarakat, lalu mereka menjelaskan derajat
hadits tersebut dari segi dhaif atau maudhu’nya, atau yang tidak jelas asalnya,
meskipun sudah sedemikian masyhur. Di antara ulama juga ada yang memperhatikan
penulisan hadits palsu secara khusus.
Buku-buku yang terkenal dalam hal
ini antara lain :
1. Al-La’ali
Al-Mantsurah fi Al-Ahadits Al-Musytaharah min Ma Allafahu At-Thab’u wa Laisa
Lahu Ashlun fi Asy-Syafi’i, karya Al-Hafizh Ibnu
Hajar (wafat 852 H)
2. Al-Maqashid
Al-Hasanah fi Bayani Katsirin Minal Ahadits Al-Musytaharah
‘alal Alsinah, karya Muhammad bin
Abdurrahman A-Sakhawi (wafat 902 H)
3. Ad-Durar
Al-Muntatsirah fi Al-Ahadits Al-Musytaharah,
karya Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 902 H)
4. Tamyizu
At-Thayyib min Al-Khabits fi Ma Yadhurru ‘ala Alsinati An-Nas min Al-Hadits,
karya Abdurrahman bin Ali As-Syaibani (wafat 944 H)
5. Kasyful
Khala’ wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytaharah minal Ahadits ‘ala Alsinati An-Nas, karya
Ismail bin Muhammad Al-Ajluni (wafat 1162 H)
6. Asna
Al-Mathalib fi Ahadits Mukhatalifil Maratib,
karya Muhammad bin Darwisy, yang terkenal dengan nama Al-Huut Al-Bairuni (wafat
1276 H)
7. Al-Maudhu’at,
karya Ibnu Al-Jauzy (wafat 597 H)
8. Al-Manar
Al-Munif fi Ash-shahih wa Adh-Dhaif, karya Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah (wafat 751 H)
9. Al-La’ali
Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah,
karya Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H)
10. Al-Mashnu’
fi Ma’rifati Al-Hadits Al-Maudhu’, karya Allamah
Nuruddin Ali bin Muhammad, atau dikenal dengan nama Al-Mullah Ali Al-Qari’
Al-Harawi (wafat 1014 H)
11. Al-Asrar
Al-Marfu’ah fi Al-Akhbar Al-Maudhu’ah, yang dikenal
dengan, Al-Maudhu’ah Al-Kubra, karya
Al-Mullah Al-Qari’.
12. Al-Fawaid
Al-Majmu’ah fi Ahadits Al-Maudu’ah, karya
Asy-Syaukani (wafat 125 H)
13. Silsilah
Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, karya Syaikh
Nashirudin Albani.
12.
Metode Az-Zawa’id
Yaitu karya yang
berisi kumpulan hadits-hadits tambahan terhadap hadits yang ada pada sebagian
kitab-kitab yang lain.
Buku yang terkenal dalam bidang ini
natara lain :
1. Mishbah
Az-Zujajah fi Zawa’id Ibnu Majah, karya Abu Abbas Ahmad
bin Muhammad Al-Bushairi (wafat 84 H), bukan Al-Bushairi Muhammad binSaid
(wafat 696 H) sang penyair menyusun “Al-Burdah”. Kitab ini mencakup tambahan
Sunan Ibnu Majah atas lima kitab pokok yaitu: Shahih Bukhari, Shahih Muslim,
Sunan At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan An-Nasa’i.
2. Ithafu
As-Sa’adah Al-Maharah Al-Khairah bi Zawa’idi Al-Masanid Al-‘Asyarah,
karya Al-Bushairi juga yang merupakan tambahan terhadap kutubus sittah : Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi, Musnad Al-Humaidi,
Musnad Musaddad bin Musarhad, Musnad Muhammad bin Yahya Adani, Musnad Ishaq bin
Rahawaid, Musnad Abu Bakar bin Abu Syaibah, Musnad Aghmad bin Mani’, Musnad
‘Abd bin Humaid, Musnad Harits, Musnad Muhammad bin Abu Usamah, dan Musnad Abu
Ya’la Al-Mushili.
3. Al-Mathalib
Al-‘Aliyah bi Zawa’idi Al-Masanid Ats-Tsamaniyah,
karya Al-Hafizh Ahmad bin Ibnu Hajar Al-‘Azqalani (wafat 852 H), yang merupakan
tambahan dari sepuluh musnad di atas kecuali Musnad Abu Ya’la Al-Mushili,
Musnad Ishaq bin Rahawaid atas kutubus
sittah dan Musnad Ahmad.
4. Majma’
Az-Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, karya Al-Haritsami,
yang telah kami sebutkan sebelumnya dalam Al-Majami’.
Kitab ini beberapa buka hadits sehingga menyerupai majami’, dan karena berisi kumpulan hadits-hadits tambahan pada
sebagian kitab, maka layak pul disebut zawa’id.
[1] Abu Dawud bab Fadhlu Nasr al-ilmu, 3:322, At-Turmudi, 5:33-34; Ibn
Majjah,1;84
[2] Seperti kitab taqyiid ilmu karya
al-khatib al-baghdadi, kitab as-sairal-hatsiitsfii
taarikh tadwiin al-hadits karya muhammad zubair Ash-Shidiqi, kitab tadwin
al-hadits dalam bahsa india karya munzhir hasan kailani.
[3] Dalam bab kitabat al-ilmu, 1:148; pada
fathul bari, at-turmudzi, 5:40
[4] Mahmud
ath-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hlm. 199.
[5] Shahih al-Bukhari, 1:27.
[6] Ulama yang hidup sebelum abad 4 H
dinamakan ulama muttaqoddimi (Salaf atau Kelasik). Sedangkan Ulama yang hidup
pada abad 4 H dinamakan Ulama Mutaakhirin.
[7] Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi
Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2016), Penerjemah. Mifdhol
Abdurrahman, cet. IX, hlm. 54-65.
[8] Ar-Risalah Al-Mustathrafah hal 46-47.
[9] Bukan
Abu Dawud Sulaiman bin As-Asy’ats As-Sijistani penysun selain Abu Dawud.
[10] Ulum Al-Hadits hal 15.
Terima kasih Sobat, sangat bermanfaat.
BalasHapus