PERADABAN ISLAM INDONESIA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Peradaban islam ada sejak zaman Rasullah SAW. Sampai kepada
abad ke 12 M. Telah berhasil membangun beradaban-peradaban baru di dunia
islam. Peradaban islam di masa lampau belumlah banyak mengarugi lautan, hal ini
dikarenakan taraf kemampuan manusia pada saat itu belum mampu berpikir
bagaimana membuat alat yang dapat dipakai mengarungi lautan. Namun setelah
manusia mampu menciptakan alat untuk mengarung lautan peradaban manusia
pun berkembang dan semakin maju.
Masuknya islam di indonesia dibah oleh para saudagar baik
yang dari mekkah india maupun persia. Dengan demikian kehidupan indonesia atau
agama islam yang ada di indonesia mempunyai kemiripan dengan agama islam yang
ada di mekkah maupun india baik dari corak kebudayaan maupun mazhab yang
berkembang di indonesia. Disamping itu bangsa indonesia juga dilatar belakangi
oleh politik dan ekonomi sriwijaya yang mengalami kemunduran.
Dengan kemunduran sriwijaya dimanfaatkan pula oleh para pedagang muslim
untuk mendapatkan keuntungan politik dan perdagangannya.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana proses masuknya Islam ke Indionesia?
2.
Bagaimana kontribusi umat Islam terhadap pembinaan masyrakat,
bangsa, dan negara baik sebelum atau sesudah kemerdekaan?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan proses masuknya Islam ke Indionesia.
2.
Menjelaskan kontribusi umat Islam terhadap pembinaan masyrakat,
bangsa, dan negara baik sebelum atau sesudah kemerdekaan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Proses Masuknya Islam ke Indonesia
Ada beberapa
teori yang menjelaskan tentang masuknya Islam ke indonesia yang cukup variatif
sesuai dengan bukti historis yang ditemukan para sejarawan.
Ada
teori yang menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, ada
pula yang menyebutkan pada awal abad ke-13 M. Menurut Hanun Asrohah[1] menyebutkan
bahwa ada tiga teori yang berbicara tentang proses islamisasi di Indonesia,
yakni pertama, melalui para pedagang Gujarat dan Arab Saudi. Kedua,
melalui para ulama atau dengan kata lain melalui jalur-jaliur pendidikan
sebagaiman yang pernah dilakukan Mulana Malik Ibrahim, Syekh Ishaq dan
sebagainya. Ketiga, melalui jalur kekuasaan keraton. Teori ini
mengindikasikan bahwa raja-raja di Indonesia memiliki peran dalam islamisasi di
Indonesia. Sementara Uka Tjandrasasmita sebagaimana dikutip Badri Yatim
menyebutkan bahwa saluran-saluran islamisasi melalui enam cara yaitu, jalur
perdagangan, jalur perkawinan, jalur tasawuf, jalur pendidikan, jalur kesenian,
dan jalur politik.[2]
1.
Jalur Perdagangan
Tradisi
berdagang dengan cara berpindah dari suatu negara ke negara lainnya merupakan
suatu tradisi dan karakteristik yang pernah dikembangkan oleh bangsa-bangsa
Arab, India, dan Gujarat. Bahkan bisnis berdagang dijadikan sebagai jalan
alternatif dalam mengais rizki sekaligus penyebaran Islam di dunia, termasuk
peyebaran Islam di Indonesia.
Hubungan
perdagangan antara Indonesia dengan bangsa-bangsa Arab, India, dan Gujarat
telah dilakukan pada abad ke-7 sampai ke-16 M,[3]
ketika itu para penduduk Indonesia belum mengenal Islam sebagai suatu agama dan
keyakinan. Pada waktu itu, masyarakat Indonesia lebih banyak mengenal agama
Hindu-Budha, pemujaan terhadap benda-benda keramat (animisme dan dinamisme) dan
lain sebagainya. Para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir pulau
Jawa yang penduduknya ketika itu belum memeluk agama Islam. Bahkan mereka
berhasi mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar
sehingga jumlah mereka menjadi banyak.
2.
Jalur Perkawinan
Penyebaran
Islam di Indonesia banyak didukung dengan adanya hubungan perkawinan antara
bangsawan yang notabene pedagang muslim dengan para wanita dari bangsawan.
Mungkin tidak sedikit para ulama (mullah) yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman
pada masyarakat Indonesia yang kemudia diambil menantu oleh para bangsawan
terkemuka. Sebut saja Sunan Ampel (Raden Rahmat) menikah dengan Nyai Manila,
Sunan Gunung Jati menikah dengan Kawunganten, dan sebagainya.[4]
3.
Jalur Tasawuf
Pengajar-pengajar
tasawuf atau sufi, mengajar teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah
dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Di antara mereka ada juga yang
mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, bentuk Islam yang
diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran
mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah
dimengerti dn diterima.
4.
Jalur Pendidikan
Islamisasi juga
dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan
oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau
pondok-pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama.
Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing kemudian
berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam.
5.
Jalur Kesenian
Saluran
islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang.
Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan
wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton
untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang
masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam cerita itu
disisipkan ajaran-ajaran dan nama-nama pahlawan Islam.
6.
Jalur Politik
Pengaruh
politik para raja sangat membantu tersebarnya Islam ke seluruh pelosok
Indonesia seperti di Maluku dan Sulawesi. Di samping itu, baik di Sumatera dan
Jawa maupun Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan
Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara
politis banyak menarik para penduduk kerajaan bukan Islam.
B.
Kontribusi Umat Islam Terhadap Pembinaan Masyarakat, Bangsa Dan
Negara
Dalam
konteks Indonesia, kedatangan Islam sejak abad ke-7 M telah menampilkan sebuah
pola dan sikap keberagaman yang bisa diterima oleh hampir sebagian masyarakat
Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa alasan antara lain, pertama,
tidak sedikit para pedagang yang berbangsa asing yang pada akhirnya menetap di
Indonesia, bahkan menikah dengan wanita pribumi. Kedua, banyak
kerajaan-kerajaan yang terdapat di Indonesia yang pada Akhirnya bergabung
dengan Islam.[5]
Dengan
demikian, keberadaan Islam pada akhirnya dapat diterima oleh masyarakat dan
mampu memainkan peran yang cukup posotif dalam berbagai hal, terutama dalam
bidang politik, pembinaan pendidikan, sosial ekonomi perdagangan dan
kebudayaan. Untuk memudahkan uraian tentang kontribusi umat Islam di Indonesia,
berikut akan dijelaskan menurut periodisasi waktu, sebelum dan sesudah kemerdekaan.
a.
Sebelum Kemerdekaan
Sejak
kedatangan Islam di Indonesia paling tidak telah menumbuhkan semangat baru bagi
masyarakat yang waktu itu masih berada dalam alam ketidakjelasan dapat kembali
menatap masa depan yang cukup cerah dan terarah. Tampilan Islam dengan tidak
serta merta menolak ajaran-ajaran agama terdahulu dipandang masyarakat sebagai
bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai dan norma agama yang selama ini
melekat pada masyarakat Indonesia. Sehingga masysrakat Indonesia dapat menrima
Islam sebagai sesuatu ajaran utuh yang dapat dipraktekan dalam kehidupan
sehari-hari. Proses pengamalan islam tidak hanya dalam konteks ibadah dan
akidah, tetapi juga dalam kancah politik.
1.
Birokrasi Keagamaan
Oleh karena
penyebaran Islam di Indonesia pertama kali dilakukan oleh para pedagang,
pertumbuhan komunitas Islam bermula di berbagai pelabuhan-pelabuhan penting di
Sumater, Jawa, dan pulau lainnya. Kerajaan-kerajaan islam yang pertama kali
berdiri juga berada di daerah pesisir. Dari sana kemudian Islam menyebar ke
daerah-daerah sekitar. Menjelang abad ke-17 M, pengaruh Islam sudah hampir
merata diberbagai wilayah penting di Nusantara.
Ibn Batuthah
menceritakan, sultan kerajaan Samudera Pasai, Sultan al-Malik al-Zahir,
dikelilingi oleh ulama dan mubaligh Islam, dan raja sendiri sangat menggemari
diskusi mengenai masalah-masalah keagamaan.[6]
Raja-raja Aceh mengangkat para ulama menjadi penasehat dan pejabat di bidang
keagamaan.
2.
Ulama dan Ilmu-Ilmu Keagamaan
Penyebaran dan
pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia terutama terletak di pundak para
ulama. Paling tidak, ada dua cara yang dilakukannya. Pertama, membentuk
kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang
lebih luas. Kedua, melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di
berbagai tempat yang jauh.[7]
Pada abad ke-16 dan 17, banyak sekali bermunculan tulisan-tulisan para
cendikiawan Islam di Indonesia. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menyatakan,
abad-abad itu menyaksikan suatu kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat,
metafisika, dan teologi rasional yang tidak terdapat tolak bandingnya dimana
pun juga di Asia Tenggara.[8]
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa, ketika tradisi pemikiran Islammulai
terbentuk di kepulauan Indonesia ini, di pusat dunia Islam, bidang pemikiran
itu telah matang. Bahkan di sana dikenal dengan masa kebekuan, masa kemunduran
pemikiran dalam bidang agama karena digalakannya taklid. Dunia pemikiran yang
berkembang di Indonesia, bagaimanapun mempunyai akar pada tradisi pemikiran
yang telah berkembang di pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.
Ilmuwan Muslim
terkenal pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, seoang tokoh sufi
terkemuka yang berasal dari Fansur (Barus), Sumatera Utara. Karyanya yang
terkenal berjudul Asrā-rul-‘Ārifin fi Bayān ila Sulūk wa al-Tauhid, suatu ringkasan tentang sifat-sifat dan inti ilmu kalam menurut teologi
Islam. Ulama lain yang banyak menulis buku adalah Nuruddin al-Raniri. Ia
berasal dari India, keturunan Arab Quraisy Hadramaut. Dia tiba di Aceh pada
tahun 1637 M. Dia dikenal sebagi orang yang giat membela ajaran ahlusunnah
waljamaah. Menurut catatan Ahmad Daudi, karyanya yang sudah diketahui dengan
pasti berjumlah 29 buah, yang meliputi berbagai cabang ilmu pengetahuan,
seperti ilmu fiqih, hadis, akidah, sejarah, tasawuf, dan sekte-sekte agama.[9]
3.
Arsitek Bangunan
Oleh karena
perbedaan latar belakang budaya, arsitektur bangunan-bangunan Islam di
Indonesia berbeda dengan yang terdapat di dunia Islam lainnya. Beberapa masjid
kuno mengingatkan kita kepada seni bangunan candi pada zaman Indonesia Hindu.
Ukiran-ukiran pada mimbar, hiasan lengkung pola kalamakara, mihrab,
bentuk beberapa mastaka atau memolo menunjukan hubugan yang erat
perlambang meru, kekayon gunungan atau gunung tempat dewa-dewa
yang dikenal dalam cerita keagamaan Hindu.
Selain itu, pada
pintu gerbang, baik di keraton-keraton maupun di makam orang-orang yang
dianggap keramat yang berbentuk candi-bentar, kori agung, jelas menunujukan
corak pintu gerbang yang dikenal sebelum Islam. Demikian pula nisan-nisan kubur
di daerah Tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon, dan Banten menunujukan
unsur-unsur seni ukir dan perlambang pra-Islam. Di Sulawesi, Kalimantan, dan
Sumatera terdapat beberapa nisan kubur yang lebih menunjukan unsur seni
Indonesia pra-Hindi dan pra-Islam.[10]
b.
Setelah Kemerdekaan
Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak lantas
mengakhiri perjuangan yang pernah dilakukan para pendiri dan pahlawan
Indonesia. Serangkaian usaha dalam rangka perjuangan bangsa Indonesia terus
dilakukan demi sebuah cita-cita yang sangat ideal, yakni menciptakan negara
yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Oleh karena itu, pasca
kemerdekaan umat Islam terus berusaha dan berjuang terutama dalam rangka
pembinaan moralitas bangsa, mengisi pembangunan, perbaikan pendidikan, dan
perbaikan sumber daya manusia Indonesia.
Kehadiran Departemen Agama (Depag)
dapat dikatakan satu dari banyak kontribusi yang dilakukan umat Islam.
Departemen ini didirikan pada 3 Januari 1949
berdasarkan UUD 1945 pasal 29 bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa dan bahwa Negara menjamin kemerdekaan atas tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
tersebut.[11]
Hal lain yang masih dalam lingkup peran umat Islam adalah didirikannya
Majelis Ulama Indonesia (MUI), satu lembaga yang bertugas menampung segala
aspirasi keagaman dari organisasi Islam, menseleksi dan mengevaluasi tentang
kehalalan atau keharaman suatu makanan, juga memberi fatwa keagamaan secara
mutlak kepada umat Islam, sehingga keberadaannya harus dijadikan sebagai
rujukan dan dapat menenangkan seluruh masyarakat Muslim tanpa kecuali.[12]
Dengan demikian, umat Islam sebagai masyarakat yang mayoritas telah
membuktikan dirinya sebagai masyarakat yang memiliki kemampuan serta mampu
berperan dalam berbagai hal, baik dalam institusi, birokrasi, perpolitikan,
maupun dalam lembaga pendidikan.
[1] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidkan Islam, (Jakarta: Logos, 2002),
hlm. 141.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 201.
[3] Ibid, hlm. 201.
[4] Achmad Gholib, Studi Islam, Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an
Al-Hadis & Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Faza Media, 2005), hlm.
244.
[5] Achmad Gholib, Studi Islam, Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an
Al-Hadis & Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Faza Media, 2005), hlm. 247.
[6] Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia, 1991), hlm. 110.
[7] Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia,1991), hlm. 111.
[8] Syed Muhammad Nauqib, Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu, (Bandung:
Mizan, 1990), hlm. 66.
[9] Ahmad Daudi, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri (Sejarah, Karya, dan
Sanggahan terhadap Wujudiyah di Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm.
18-26.
[10] B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Grafitipres, 1985, cetakan pertama), hlm. 110.
[11] Achmad Gholib, Studi Islam, Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an
Al-Hadis & Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Faza Media, 2005), hlm.
251
[12] Achmad Gholib, Studi Islam, Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an
Al-Hadis & Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Faza Media, 2005), hlm.
253
Komentar
Posting Komentar