Keshaihan hadis menurut Syiah


MAKALAH

(Keshahihan Hadis Menurut Syiah)

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Kritik Hadis

Dosen pengampu Dr. M. Isa H. A. Salam, M. Ag.


Disusun oleh kelompok 6

Risky Oktafian adik                11160340000067

Mufti Labib Jalaluddin           11160340000020

Rahmat Ilahi                            11150340000134

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018

KATA PENGANTAR

            Puji serta syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah memberikan taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini diharapkan bisa bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan kami selaku penulis pada khusunya, serta makalah ini bisa menambah wawasan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.



            Akhirnya, kami mengucapkan terimakasih kepada dosen dan teman-teman yang telah memberikan partisipasinya dalam penyelesaian makalah ini, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini. Di dalam makalah ini, kami sadari masih terdapat banyak kekurangan dikarenakan pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki masih sangat terbatas. Oleh karena itu, kami berharap kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.





Ciputat, 10 Desember 2018



Penyusun









DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                               2

DAFTAR ISI                                                                                                              3

BAB I PENDAHULUAN                                                                                          4

1.      Latar belakang                                                                                                4

2.      Rumusan masalah                                                                                           4

3.      Tujuan penulisan                                                                                             4

BAB II PEMBAHASAN                                                                                           5

A.    Pengertian syiah                                                                                              5

B.     Hadis menurut syiah                                                                                       6

C.     Kriteria keshahihan hadis menurut syiah                                                        7

D.    Kritik sanad dan matan menurut syiah                                                           11

BAB III PENUTUP                                                                                                   15

Kesimpulan                                                                                                                 15

DAFTAR PUSTAKA                                                                                                16















BAB I

PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang

Hadits adalah salah satu sumber tasyri‟ penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penfasir al-Qur‟an, bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen sebagaimana al-Qur‟an sendiri. Itulah sebabnya, di kalangan Ahl al-Sunnah, menjadi sangat penting untuk menjaga dan “mengawal” pewarisan al-Sunnah ini dari generasi ke generasi. Mereka –misalnya- menetapkan berbagai persyaratan yang ketat agar sebuah hadits dapat diterima (dengan derajat shahih ataupun hasan). Setelah meneliti dan membuktikan keabsahan sebuah hadits secara sanad, mereka tidak cukup berhenti hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk mengkaji matannya; apakah ia tidak syadz atau mansukh –misalnya-. Demikianlah seterusnya, hingga mereka dapat menyimpulkan dan mendapatkan hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah.

Di samping Ahl al-Sunnah –sebagai salah satu kelompok Islam terbesar-, ternyata Syiah juga memiliki perhatian khusus terhadap al-Sunnah. Namun mereka memiliki jalur sanad dan sumber khusus dalam menerima al-Sunnah yang berbeda dengan sanad dan sumber Ahl al-Sunnah. Ini tentu saja tidak mengherankan, sebab Syiah memiliki pengertian tersendiri tentang al-Sunnah. Maka perbedaan ini tidak pelak lagi memunculkan perbedaan antara Ahl al-Sunnah dengan mereka dalam persoalan keaqidahan maupun kefikihan.

2.      Rumusan Masalah

1.      Bagaimana definisi hadis menurut syiah?

2.      Bagaimana kriteria hadis shahih menurut syiah?

3.      Bagaimana kritik sanad dan matan dalam syiah?

3.      Tujuan Penulisan

Makalah ini dibuat untuk menjelaskan kriteria keshahihan hadis dalam syiah.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Syiah

Hampir semua mazhab dalam Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Hadis menjadi sumber kedua dalam Islam, termasuk dalam aliran Syi’a. Ia identik dengan konsep kepemimpinan (imamah) yang merupakan tonggak keimanan Syi’ah.

Syiah menurut bahasa berarti “pengikut”, sedangkan menurut istilah Syiah berarti sekolompok orang yang mengagumi dan mengikuti Ali bin Abi Thalib. Kata Syiah digunakan untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang mencintai Ali bin Abi Thalib secara khusus, dan sangat fanatik. Maka kemudian secara terminologis Syiah hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa hanya Rasulullah Saw yang berhak menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya.[1]  Syiah memiliki konsep ishmah, bahwa ahlul bait (keluarga Nabi) adalah ma’shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan) sehingga dapat dijadikan hujjah dalam beragama.

Pendapat populer tentang kemunculan Syiah adalah bahwa Syiah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah Ali dengan pihak pemberontak Muawiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm atau arbitrasi. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut Ali).[2]



B.     Hadis menurut Syiah

Jika menurut Sunni hadis adalah segala sesuatu berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir yang bersandar pada Nabi Saw., maka Syi’ah memperluas pengertian hadis. Menurut Syiah, hadis adalah segala sesuatu berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir yang bersandar pada al-ma’shumin (orang-orang yang ma’shum).[3]  Yang dimaksud dengan orang-orang yang ma’shum adalah Nabi Saw., Fatimah putri Nabi, dan para imam. Para imam yang dimaksud adalah:

a.   Ali bin Abi Thalib “al-Murtadha” (w. 40 H/661 M)

b.   Al-Hasan bin Ali “al-Zaky” (w. 49 H/669 M)

c.   Al-Husain bin Ali “Sayyid al-Syuhada” (w. 61 H/680 M)

d.   Ali bin al-Husain “Zain al-‘Abidin” (w. 95 H/714 M)

e.   Abu Ja’far Muhammad Ali “al-Baqir” (w. 115 H.733 M)

f.    Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad “al-Shadiq” (w. 148 H/765 M)

g.   Abu Ibrahim Musa bin Ja’far “al-Kazhim” (w. 183 H/765 M)

h.   Abu Hasan Ali bin Musa “al-Ridha” (w. 203 H/818 M)

i.    Abu Ja’far Muhammad bin Ali “al-Jawwad” (w. 220 H/835 M)

j.    Abu Hasan Ali bin Muhammad “al-Hadi” (w. 254 H/868 M)

k.   Abu Muhammad al-Hasan bin Ali “al-Askari” (w. 260 H/874 M)

l.    Abu al-Qasim Muhammad bin Hasan “al-Mahdi” (memasuki kegaiban besar pada 329 H/940 M)



Konsekuensi dari pengertian tersebut adalah bahwa hadis yang datang dari para imam adalah mengikat dan dapat dijadikan hujjah dalam beragama. Para imam tak ubahnya Nabi Saw. yang memiliki sifat ‘ishmah dan kedudukan perkataan mereka tak ubahnya perkataan Nabi yang melalui wahyu, sedangkan para imam memperolehnya melalui jalur ilham. Penjelasan para iamm terhadap hukum tidak masuk ke dalam kategori periwayatan sunnah atau ijtihad dalam hukum syariat, melainkan mereka adalah sumber hukum (tasyri’) itu sendiri.[4]

Syi’ah berkeyakinan bahwa para imam sepnjang hayat mereka, baik sebelum baligh dan sesudahnya, tidak mungkin melakukan kesalahan dan dosa. Berangkat dari itu, maka hadis dari para imam sepanjang hayat mereka memiliki kedudukan yang sama. Syi’ah juga tidak mempersyaratkan ketersambungan sanad (ittishal al-sanad) dari para imam kepada Rasulullah, sebab hadis dari para imam serta-merta menjadi shahih dikarenakan para imam adalah ma’shum.[5]

C.    Kriteria Hadis Shohih Menurut Syi’ah     

Sebagaimana halnya Ahli Sunnah, Syi’ah juga tidak luput dari adanya pemalsuan hadis dan distorsi. Hal ini dikarenakan beberapa faktor internal mereka seperti adanya perawi-perawi każab, fasīdu al-mażab, dan majhū al-hāl dan juga faktor eksternal seperti kondisi sosial politik yang dihadapi di masanya atau terputusnya hubungan dengan Imam mereka. Faktor yang paling utama yang menyebabkan munculnya pemalsuan hadis di kalangan mereka adalah karena adanya pemikiran “gulah” (berlebihan) di kalangan mereka dalam mengkultuskan para Imam.

Pemikiran ini muncul sejak masa Imam Ali Zainal Abidin a.s. dan berlanjut hingga akhir masa para Imam. Pada masa setiap Imam tersebut muncul kelompok yang dikenal dengan “gali” (pengkultus). Namun mereka ini pun dilaknat oleh para Imam mereka.Imam-imam Syi’ah sering menampakkan kebohongan mereka. Seperti halnya yang berkenaan dengan Mughirah bin Sa’id , Imam Sadiq a.s. menyinggung pemalsuan hadis dan penambahan yang dilakukan oleh Mughirah dalam kitab-kitab para sahabat ayah beliau, Imam Baqir a.s. Imam Rida juga menyebut Bayan, Mugirah bin Sa’id , Abu al-Khattab dan lainnya sebagai pendusta. Imam Hasan Askari juga disamping mendustakan akidah ‘Ali bin Hasakah dan Qasim Yaqtini, ia juga melaknat mereka.

Pasca periode para Imam, usaha-usaha yang dilakukan tokoh-tokoh Syi’ah adalah mengidentifikasi golongan yang “gulah” dan menolak klaim mereka sebagai Syi’ah. Meski berbagai upaya telah dilakukan, namun sebagian riwayat palsu dan yang meragukan telah masuk ke dalam koleksi hadis-hadis Syi’ah. Oleh karena itu pula muncul perbedaan dan kontradiksi di dalam internal hadishadis Syi’ah sendiri.           

Dalam hal ini Hadis dalam wacana syi’ah lebih mengacu pada defenisi yaitu sebuah hadis baru akan diterima ketia sanandnya bersangbung melalui imam yang dua belas sampai pada nabi Saw. Namun ketika hadis itu tidak tersambung melalui imam yang dua belas maka hadis tersebut adalah hadis dho’if.[6] 

      Di sini penulis memberikan beberapa kriteria hadis shohih menurut padangan syi’ah:[7]

1.   Sanadnya tersabung melalui imam yang ma’sum tampa terputus

Hadits sahih menurut mereka adalah, hadits yang bersambung sanadnya kepada imam yang Ma‟shum serta adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang. Karena Pengikut Syi‟ah juga percaya bahwa imam-imam Syi‟ah yang dua belas itu, mempunyai sifat Ma‟shum, sama yang dimilki oleh para Nabi dan Rasul. Bahkan mereka berkeyakinan bahwa imam-imam tersebut mengetahui segala sesuatu, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Disamping itu mereka berkeyakinan bahwa para imam tersebut mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada para malaikat Mogorrab, maupun kedudukan para Rasul.

2.   Para periwayatnya dari kelompok imamiah dalam semua tingkatan.

Definisi Imamah sendiri secara etimologis adalah bentuk masdar dari kosakata “imam”. Dalam kamus bahasa idonesia, kata imamah diartikan sebagai kepemimpinan . Dari akar kata imam ini pula ada istilah umm (ibu atau induk) dan ummat (yang dipimpin, rakyat atau masyarakat). Dan dari kajian etimologis ini dapat dikata, bahwa imamah adalah induk keteladanan dan kepemimpinan bagi umat.Imamah tidak aka nada artinya tanpa ummah atau umat.

Bagi golongan Syi‟ah (Ithna‟ Asyariyah Ja‟fariyah) secara mutlak imamah itu diyakini merupakan petunjuk nash. Baik Nash al-Qur‟an maupun Nash hadis jalurnya dibangun sendiri oleh mereka dengan mengeyampingkan para pemuka sahabat yang dicap telah mengkhianati Ali, karena tidak memilih beliau setelah wafat Nabi.

3.   Para periwayatnya juga harus adil dan kuat hafalan.

Perbedaan pendapat muncul ketika dihadapkan dengan persoalan adil dan persyaratan periwayat yang adil. Meurut pendapat yang masyhur menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perawi yang adil adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjahui kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa-doda kecil, mejahui dosa besar serta mengiggalkan perbuatan-perbuatan yag merusak jiwa.

Di dalam keadilan seorang perawi, harus juga dipenuhi unsur-unsur yang lain sebagai berikut:

A.  Beragama islam

B.  Berstatus mukallaf

C.  Beriman

Adil menurut syi’ah terbagi pada dua.

a.   Adil mutlaq

Yaitu: para periwayat itu tidak menyeleweng dari paham mazhab syi’ah imamiyah

b.   Adil nisbiyyah

Yaitu para periwayat yang berlainan dalam bidang akidah syi’ah imamiyah.

Riwayat ini akan diterima dengan syarat:

1.   Adanya rekomendasi dari salah satu imam

2.   adanya pengakuan dari ulama terdahulu

3.   dipercaya dan dipuji oleh ulama syi’ah

namun dalam hal ini tidak akan mengantarkan hadis tersebut kedalam hadis shohih.[8]







D.    Kritik Sanad Dan Matan Menurut Syiah[9]

Sebagaimana Ahlus Sunnah, Syiah Imamiyah juga memiliki metode kritik sanad dan matan yang khas, meskipun dalam beberapa bagian nampak sama dengan metode kritik sanad dan matan yang dianut oleh Ahlus Sunnah.

Metode Kritik Sanad Syiah

Dalam hal ini yang akan dipaparkan adalah klasifikasi perawi, awal munculnya pembagian derajat hadits dalam Syiah, kajian seputar persambungan dan perputusan sebuah sanad dalam sudut pandang Syiah dan kajian al-rijal di kalangan Syiah.

Klasifikasi Perawi di Kalangan Syiah

Klasifikasi perawi sebuah hadits yang dapat diterima, dalam pandangan Syiah hampir sama dengan klasifikasi yang selama ini dikenal dan dipegangi oleh para ulama hadits Ahlus Sunnah. Diantara klasifikasi seorang perawi yang bisa diterima menurut mereka adalah:

·         Islam

·         Baligh

·         Berakal

·         Adil

·         Dhabith

Sebagian besar ulama Imamiyah menambahkan syarat “iman”. Yang dimaksud “iman” di sini adalah bahwa seorang perawi haruslah seorang penganut madzhab Imamiyah Itsna „Asyariyyah. Bahkan tidak hanya sekedar penganut madzhab Imamiyah, sang perawi haruslah menerima riwayat itu dari para imam. Al-Thusy mengatakan, “Setelah diteliti dengan cermat, jelaslah bahwa tidak semua riwayat yang diriwayatkan oleh seorang „imamiyah‟ dapat diamalkan secara mutlak. (Sebab yang boleh diamalkan) hanyalah riwayat-riwayat yang diriwayatkan dari para imam –alaihissalam- dan dituliskan oleh murid-muridnya.”

Karena itu, jika seorang penganut Imamiyah meriwayatkan hadits dari salah seorang Ahl al-Bait yang tidak termasuk dalam kategori imam, maka haditsnya pun tidak dapat diamalkan. Dengan kata lain, tidak semua Ahl al-Bait dapat dijadikan sebagai jalur periwayatan, sebab tidak semua dari mereka itu berstatus sebagai imam. Itulah sebabnya, riwayat yang disampaikan oleh keturunan Fathimah r.a melalui al-Hasan r.a –misalnya- tidak dapat diterima. Bahkan yang melalui jalur al-Husain r.a sekalipun.

Sebab-sebab  penetapan  Jarh  terhadap  seorang  perawi  dalam  pandangan Syiah di antaranya adalah:

·         Akidah yang batil. Yaitu jika sang perawi bukanlah pengikut Imamiyah.

·         Cacatnya ke ‘adalahan perawi, seperti jika ia melakukan dosa besar dan terus-menerus melakukan dosa kecil.

·         Hafalan yang buruk.

·         Jika seorang perawi banyak meriwayatkan dari perawi-perawi yang dhu‟afa dan majhulun.

·         Jika perawi itu berasal dari kalangan Bani Umayyah, kecuali jika ia seorang pengikut Imamiyah.



Metode Kritik Matan Syiah

Perbedaan Ahlus Sunnah dan Syiah dalam melakukan kritik matan, dijelaskan sebagaimana berikut:



Pertama, Perbedaan dalam menimbang matan hadits dengan Al-Quran.



Para imam Syiah telah menyatakan kewajiban memaparkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari mereka kepada al-Qur’an. Maka yang sesuai dengan al-Qur‟an, itulah yang benar. Namun jika hadits itu menyelisihi al-Qur‟an, maka ia tidak bisa dijadikan pegangan. Imam al-Ridha mengatakan,



“…Maka janganlah kalian menerima (riwayat) dari kami yang menyelisihi al-Qur‟an. Sebab jika kami menyampaikan sesuatu pada kalian, kami tidak menyampaikan kecuali yang sesuai dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah…Maka jika datang kepada kalian orang yang menyampaikan hadits yang menyelisihi itu, maka tolaklah! Sebab setiap perkataan dari kami itu akan disertai dengan hakikat dan cahaya, dan sesuatu yang tidak ada hakikat dan cahayanya, maka itu adalah perkataan syetan”[58]



Namun, Syiah meragukan keabsahan Al-Quran yang ada sekarang ini. Masalah terjadinya tahrif dan pengurangan dalam al-Qur‟an hampir dapat dikatakan telah menjadi ijma‟ Syiah terdahulu, kecuali 4 orang yang tidak meyakininya. Mereka adalah Ibnu Babawaih al-Qummy (w. 382H), al-Syarif al-Murtadha (w. 436H), al-Thusy (w. 460H), dan al-Fadhl ibn al-Hasan al-Thibrisy (w. 548H).

Akibatnya, mereka terpaksa memilih pandangan yang menyatakan bahwa para imam itu memerintahkan mereka untuk berpegang pada al-Qur‟an yang ada di hadapan kita saat ini, meskipun telah diselewengkan –menurut mereka- hingga datangnya Al-Qa‟im Al-Mahdy yang akan mengeluarkan al-Qur‟an yang shahih yang dikumpulkan oleh Imam „Ali r.a.



Syekh al-Mufid (w. 413H) menyatakan,



“Sesungguhnya hadits-hadits yang shahih dari para imam kami a.s (yang menunjukkan) bahwa mereka memerintahkan untuk membaca apa yang ada dalam mushhaf (al-Qur‟an) dan tidak melampaui batas, baik dengan menambah atau menguranginya, hingga datang al-Qa‟im a.s yang akan membacakan al-Qur‟an (yang benar) sesuai dengan yang diturunkan Allah Ta‟ala dan dikumpulkan oleh Amirul mukminin.”



Kedua, Perbedaan dalam menimbang matan hadits dengan As-Sunnah

Syiah Imamiyah memandang bahwa al-Sunnah merupakan sumber tasyri‟ kedua setelah Kitabullah, dan hal ini disepakati oleh semua kaum muslimin. definisi al-Sunnah menurut Syiah adalah perkataan, perbuatan dan penetapan al-ma‟shum. Oleh sebab itu, sang imam mempunyai hak untuk mengkhususkan dalil al-Qur‟an yang umum, atau tindakan semacamnya. Atau dengan kata lain, sang imam –karena ia ma‟shum-, maka posisinya sama dengan Nabi saw yang tidak berbicara kecuali berdasarkan wahyu.



Ketiga, Perbedaan dalam menimbang matan hadits dengan Ijma’

Syiah –sebagaimana juga Ahl al-Sunnah- memandang ijma’ sebagai salah satu sumber tasyri’ dalam Islam. Hanya saja, terminologi ijma’ dalam pandangan mereka berbeda dengan terminologi ijma’ menurut Ahl al-Sunnah. Ibn al-Muthahhir al-Huliyy mendefinisikan ijma’ menurut Syiah dengan mengatakan,



“Ijma‟ itu hanya menjadi hujjah bagi kita jika ia mencakupi perkataan sang (imam) yang ma‟shum. Maka jama‟ah apapun, sedikit atau banyak, jika perkataan imam termasuk dalam perkataan mereka, maka ijma‟nya menjadi hujjah karenanya (perkataan imam), bukan karena kesepakatan mereka.







BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Melalui kajian singkat ini setidaknya kita dapat melihat –meskipun tidak secara terperinci- bahwa secara garis besar ada persamaan antara Ahl al-Sunnah dan Syiah tentang hakikat hadits sebagai sumber ajaran Islam.



Perbedaan mendasar terletak pada sumber utama hadis dan persoalan verifikasi terhadap keotentikan hadis. Pertama, tentang sumber hadis. Syi‟ah beranggapan mengenai tidak terhentinya wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw dan masih tetap mengakui adanya hadis yang bersumber dari keturunan Nabi, khususnya dari Ali, bahkan para imam juga dianggap dapat mengeluarkan hadis. Kedua, kaitannya dengan persoalan verifikasi kesahihan hadis, para ulama Syi‟ah dalam kajian sanad suatu hadis telah memberikan kriteria-kriteria sebagai periwayat hadis. Di antaranya: Bersambung sanadnya kepada yang ma‟shum, Seluruh periwayat dalam sanad berasal dari kelompok Syiah dalam semua tingkatan, dan seluruh periwayat dalam sanad bersifat „adil dan dhabit.



Dalam proses melakukan kritik terhadap sanad dan matan kita temukan dalam penerapannya terdapat perbedaan yang sangat jauh antara keduanya. Sebagai contoh, jika Ahl al-Sunnah sejak awal menjadikan sanad sebagai salah satu pijakan utama dalam menerima hadits, maka Syiah justru „terlambat‟ untuk menyadari itu. Bahkan, -seperti diakui oleh ulama mereka sendiri- perhatian terhadap sanad itu muncul bukan karena memang hal itu penting, akan tetapi sekedar untuk memunculkan „pembelaan‟ di hadapan Ahl al-Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Ahmad as-Salus. 1997. Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis & Fiqih. Jakarta: Pustaka al-Kausar.

Miftakhul Munir, Kajian Hadits Dalam Pandangan Sunni Dan Syi’ah: Sebuah

Moh. Akhib Muslim. Konsep Hadis Shohih Dalam Perspektif Syi’ah Isna Asya’riyah .Disertasi. https://www.researchgate.net/publication/321096592_Hadits_dan_Ilmu_Hadits_dalam_Pandangan_Syiah

Muhammad Nasir, Kriteria Keshahihan Hadits Perspektif Syiah, Jurnal Farabi, Vol. 12. No. 1 Juni 2015, hal. 194

Perbandingan, jurnal : STIT PGRI Pasuruan.

Redaktur  Ensiklopedi  Islam. 1997. Ensiklopedi  Islam. Jakarta:  PT.  Ichtiar  Baru  Van Hoeve.



[1] Redaktur  Ensiklopedi  Islam, Ensiklopedi  Islam, (Jakarta:  PT.  Ichtiar  Baru  Van Hoeve, 1997), hal.  5.
[2] Muhammad Nasir, Kriteria Keshahihan Hadits Perspektif Syiah, Jurnal Farabi, Vol. 12. No. 1 Juni 2015, hal. 194
[3] Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis & Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 123.
[6] Moh. Akhib Muslim. Konsep Hadis Shohih Dalam Perspektif Syi’ah Isna Asya’riyah . jurnal
[7] Miftakhul Munir, Kajian Hadits Dalam Pandangan Sunni Dan Syi’ah: Sebuah
Perbandingan,
jurnal : STIT PGRI Pasuruan.
[8] Moh. Akhib Muslim. Konsep Hadis Shohih Dalam Perspektif Syi’ah Isna Asya’riyah . Disertasi. H, 82

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Term Dalam Logika

Tafsir bir Ra'yi

ALAM KUBUR DALAM PERSPEKTIF HADIS