TAFSIR AQIDAH ( Keyakinan terhadap Allah sebagai al-Ilah)
Kesibukan setiap kelompok umat
manusia mengenai jenis ibadah secara fitrah; pelaksanaan jenis ibadah oleh
makhluk hidup yang lain, bahkan pelayanan fitri dari benda mati; perwasilahan
masing-masing nikmat dan anugerah yang membuat makhluk beribadah dan bersyukur;
pengumuman dari menifestasi gaib dan penjelmaan maknawi seperti wahyu dan ilham
terhadap ketuhanan yang Maha Esa, tentu saja hal ini membuktikan kenyataan dan
dominasi ketuhanan secara mutlak.
Karena
mereka yang membalas dengan rasa syukur dan ibadah terhadap Tuhan merupakan
buah yang memiliki kesadaran yang berada dipuncak alam semesta. Yang lain
menarik perhatian orang-orang yang memiliki kesadaran itu dengan membuat mereka
senang dan berterima kasih dan membuat mereka lupa Tuhan hakiki mereka yang
disembah sangat mungkin cepat dilupakan, karna ketidakkasatan-Nya merupakan
sebuah pertentangan dengan esensi dan tujuan suci ketuhanan bahwa tidak dapat
diterima dari aspek apapun. Dari sinilah Al-Qur’an menolak kemusyrikan secara
berulang-ulang dan tegas, dan mengancam orang-orang musyrik dengan neraka
jahanam.[1]
A. Pengertian
Al-Illah
Secara
etimologi kata al-Ilah memiliki arti sesembahan. Kata ilah berbeda dengan
Allah. Sementara ulama berpendapat bahwa kata Allah asalnya adalah ilah yang
diberi huruf alif dan lam pada awalnya. Dengan demikian Allah adalah nama
khusus sehingga tidak ditemukan bentuk jamaknya, sedangkan kata ilah adalah
nama umum sehingga ditemukan bentuk jamaknya. Dalam bahasa Inggris, baik yang
bersifat khusus maupun yang bersifat umum, keduanya diterjemahkan god. Demikian
juga dalam bahasa Indonesia, keduanya diterjemahkan dengan kata tuhan, tetapi
cara penulisannya berbeda. Yang bersifat umum huruf depannya ditulis dengan
huruf kecil god/tuhan, sedangkan yang bersifat khusus huruf depannya ditulis
dengan huruf besar God/Tuhan.
Alif dan lam
yang dibubuhkan pada kata ilah berfungsi menunjukan bahwa kata tersebut
merupakan kata yang sudah dikenal, atau dalam kaidah bahasa Arab disebut dengan
isim ma’rifah. Penggunaan bahasa Arab pada masa jahiliah mengakui Tuhan yang
dikenal benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan lain
yang mereka sembah. Selanjutnya dalam perkembangan lebih jauh dengan alasan
mempermudah, kata ini terucapkan Allah dan menjadi nama khusus bagi Pencipta
dan Pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.[2]
Allah adalah
nama Tuhan yang paling popular. Kata ini terulang dalam al-Qur’an sebanyak 2.
698 kali. Secara tegas Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri yang menamai dirinya
Allah[3]:
إِنَّنِى
أَنَا اللهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي {14}
“Sesungguhnya
Aku adalah Allah, tiada Tuhan ( yang berhak disembah ) selain Aku, maka
sembahlah Aku” ( QS. Thaha [
20 ]: 14 )
Kata
Al-Illah dalam bentuk kata mengikuti wazan fi’al yang berarti maf’ul.
Al-Illah berarti al-ma’luh ( sesuatu yang disembah ), seperti kitab
yang berarti maktub ( yang ditulis ). Kata al-ilah menurut Fuad Abdul
Baqi bisa berarti al-Ma’bud ( yang disembah ) dan bisa pula berarti al-Ma’bud
bil haq. Apabila arti pertama dipilih, maka setiap sesuatu yang dalam kenyataan
disembah selain Allah dapat dianggap sebagai ilah hanya bisa disandang
oleh Allah. Sebab al-mu’budiyah ( ke-tersembahan-an ) merupakan devirasi
dari al-rububiyah.[4]
Sementara
ulama berpendapat bahwa kata Ilah yang darinya berbentuk kata Allah,
berakar dari kata al-Ilahah al-Uluhah dan al-Uluhiyah yang
kesemuannya menurut mereka bermakna ibadah/penyembahan, sehingga Allah
secara harfiah bermakna “ Yang disembah”. Ada juga yang berpendapat bahwa
kata tersebut berakar dari kata alaha dalam arti mengherankan atau
menakjubkan, karena segala perbuatan/ciptaan- Nya menakjubkan atau karena bila
dibahas hakikat-Nya, akan mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk tentang
hakikat Zat Yang Maha Agung. Itu sebabnya ditentukan riwayat yang menyatakan, “
Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir tentang zat-Nya”.[5]
Al-Imam
Fakhruddin al-Razi memahami kata Al-Illah dengan makna yang
bermacam-macam, disebabkan berasal dari akar kata yang berbeda, yaitu Pertama, berasal dari kata alaha-ya’lahu artinya
tenang, dikatakan demikian karena hati manusia merasa tenang bersama-Nya
الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَبِذِكْرِ اللهِ
تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ {28}
“ ( yaitu ) orang-orang yang beriman
dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. ( QS. Ar-Ra’ad [ 13 ]: 28 )
Kedua berasal dari kata aliha-ya’lahu
artinya ‘abada ya’badu, artinya disembah. Ketiga, berasal dari
kata laha-yaluhu artinya tertutup. Dinamakan demikian karena keberadaan
dzat-Nya tidak bisa terlihat secara kasat mata karena tertutup.[6]
لاَتُدْرِكُهُ
اْلأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ اْلأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ {103}
“Dia tidak dapat dicapai oleh
pengheliatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah
yang Maha Halus lagi Maha Mengetehui”. (QS. Al-An’am [6]: 103)
Dengan
demikian kata Ilah berarti yang disembah, menegaskan bahwa Ilah menunjukan
bahwa Allah sebagai Tuhan yang disembah. Tuhan yang Maha Esa, yang wajib
wujub-Nya itu yang berhak manyandang nama tersebut, selain-Nya tidak ada ada,
bahkan tidak boleh.
B. Ayat-ayat Tentang Keesaan Allah
Islam adalah agama tauhid yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Tauhid
adalah esensi iman kepada Allah. Tauhid berarti mengesakanNya, baik dalam dzat,
asma washifat, maupun perbuatannya. Keesaan Allah adalah basis bagi keimanan
seseorang muslim. Kekuatan iman seseorang itu ditandai dengan komitmennya dalam
menanamkan dan mempertahankan keesaan Allah dalam diriNya. Orang yang tidak
mengetahui keesan Allah sudah pasti ia bukan seorang mu’min. dengan demikian ,
seorang mu’min akan senantiasa mempertahankan keesaan Allah dalam dirinya agar
ia tidak terjatuh dalam lembah keyakinan yang salah.[7]
Allah berfirman:
إِنَّمَآ إلهُكُمُ اللهُ الَّذِي
لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَسِعَ كُلَّ شَىْءٍ عِلْمًا {98}
“
Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia.
Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu”. (
QS. Thoha [20]: 98 )
Firman Allah, إِنَّمَآ
إِلهُكُمُ اللهُ الَّذِي لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ
maksudnya adalah wahai kaum, tidak ada sesembahan lain yang kalian
miliki, selain Allah yang kepada-Nya ditujukan seluruk peribadahan makhluk.
Tidak ada yang layak selain Dia, dan tidak sepantasnya diperuntukan kepada
selain Dia.[8]
Sedangkan firman Allah, هُوَ
وَسِعَ كُلَّ شَىْءٍ عِلْمًا maksudnya adalah Allah meliputi segala
sesuatu dengan pengetahuan-Nya, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya dan
pada-Nya pengetahuan segala sesuatu.[9]
Ayat diatas
menyebutkan tentang Allah mempunyai 2 sifat utama, yaitu sifat keesaan dan
keluasan pengetahuan. Dengan sifat keesaan, tersingkirlah
segala sesuatu yang diduga merupakan sekutunya dalam dzat, sifat dan
perbuatan-Nya serta kewajaran beribadah, termasuk anak lembu, dan dengan
menekankan keesaan itu tercakup pula kewajaran-Nya menyandang segala sifat
terpuji. Sedang dengan penekanan ilmu-Nya, diharapkan semua mukallaf akan
selalu awas dan tekun melakukan apa yang dikehendaki.[10]
Kata tauhid
berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk kata benda atau masdar dari kata
kerja Wahada Yuwahidu yang artinya membuat sesuatu menjadi satu, atau
menyatakan kesatuan (keesaan). Dalam teologi, kata ini berarti pernyataan
seseorang bahwa tiada tuhan selain Allah. Inilah tauhid yang menjadi ajaran
terpenting yang diperkenalkan al-Qur’an, yaitu ajaran yang menyangkut pengakuan
terhadap keesaan tuhan secara murni dan konsekuen. Sedangkan secara
terminology, ada beberapa pengertian dari tauhid yang disebutkan oleh ulama.
Definisi itu antara lain seperti oleh al-Arbawi : tauhid adalah pengesakan
pencipta (Tuhan) dengan ibadah baik dalam dzat, sifat maupun perbuatan dari
pemahaman tersebut dapat dipahami bahwa pengakuan tauhid itu meliputi berbagai
aspek yang harus di formulasikan dalam suatu keyakinan.[11] Aspek-aspek tersebut
adalah:
1. Keesaan Dzatnya
Keesaan zat
mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa Allah SWT. Tidak
terdiri dari unsur-unsur, atau bagian-bagian, karena bila zat yang Maha Kuasa
itu terdiri dari dua unsur atau lebih- betapapun kecilnya unsur atau bagian
itu- maka ini berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian itu. Atau dengan kata
lain unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya. Maka dari itu zat
Tuhan pasti tidak terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian betapapun kecilnya,
karna jika demikian, Dia tidak lagi menjadi Tuhan. Benak kita tidak dapat
membayangkan Tuhan membutuhkan sesuatu dan al-Qura’an pun menegaskan demikian[12]:
يَآأَيُّهَا
النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَآءُ إِلَى اللهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
{15}
“ Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah
Dialah yang Maha Kaya ( tidak memerlukan sesuatu ) lagi Maha Terpuji”. (
QS. Fathir [35]: 15 )
Menurut Abu Ja’far
maksud ayat ini adalah wahai manusia, kalian adalah orang-orang yang memiliki
kebutuhan dan fakir kepada Tuhan kalian, maka kepada-Nyalah hendaknya kalian
menyembah, dan terhadap ridha-Nyalah hendaknya kalian segera mencari, niscaya
Dia mengkayakan kalian dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian.[13]
Sedangkan menurut
Abu Hayyan ayat ini merupakan nasihat dan peringatan dan bahwa seluruh umat
manusia membutuhkan kebaikan Allah dan nikmat-Nya dalam keadaan bagaimanapun.
Tidak ada seseorangpun tidak membutuhkan Allah sekejap matapun, dan Allah-lah
yang tidak membutuhkan alam ini secara mutlak, yang terpuji pada nikmat yang
Dia berikan dan yang berhak dipuji.[14]
Setiap penganut paham tauhid berkeyakinan
bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu dan Dia sendiri tidak bersumber diri
sesuatupun. Al-Quran menegaskan bahwa:
فَاطِرُ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ
اْلأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ {11}
“(
Allah ) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan dari
jenis hewan ternak pasang-pasangan ( juga ). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak
dijalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha
Mendengar, Maha Melihat.”( QS.Asy
Syura [ 42 ]: 11 )
jika dilihat dari ayat diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada
yang serupa dengan-Nya, apalagi yang seperti Dia, lebih-lebih yang sama
dengan-Nya. Karena itu, jangankan secara secara factual di dunia nyata ada yang
seperti dengan-Nya, yang secara imajinasi pun tidak ada yang serupa dengan-Nya.
2.
Keesaan Sifat-Nya
Adapun keesaan sifat-Nya, maka itu
antara lain berarti bahwa Allah memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi
dan kepasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan
untuk menunjuk sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjuk tersebut
sama. Sebagai contoh, kata Rahim merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga
digunakan untuk menunjuk rahmat atau kasih saying makhluk. Namun, substansi dan
kapasitas rahmat dan kasih saying Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya.[15].
Allah Esa dalam sifat-Nya sehingga
tidak ada yang menyamai subtansi dan kapasitas sifat tersebut. sementara ulama
memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya itu, dalam arti bahwa Zat-Nya sendiri
merupakan sifat-Nya. Demikian mereka memahami keesaan secara amat murni. Mereka
menolak adanya “Sifat” bagi Allah, walaupun mereka tetap yakin dan percaya
bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Penyantun, dan lain-lain yang
selama ini dikenal ada Sembilan puluh Sembilan. Mereka yakin tentang hal
tersebut, tetapi mereka menolak menamainya sifat-sifat. Lebih jauh penganut
paham ini berpendapat bahwa “Sifat-Nya” merupakan satu kesatuan, sehingga kalau
dengan tauhid Dzat, dinafikan segala unsur keterbilangan pada Dzat-Nya,
betapapun kecilnya unsur itu, maka dengan tauhid sifat dinafikan segala macam
dan bentuk ketersusunan dan keterbilangan bagi sifat-sifat Allah.[16]
3.
Keesaan Perbuatan-Nya
Keesaan ini mengandung arti bahwa
segala sesuatu yang berada dialam raya ini, baik system kerja maupun sebab dan
wujudny, kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang
dikehendaki-Nya terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi,
tidak ada daya ( untuk memperoleh manfaat ), tidak perlu kekuatan, kcuali
bersumber dari Allah SWT. itulah makna:
لا حول ولا قوة
إلا بالله
Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah
SWT. berlaku sewenang-wenang, atau “ Berkerja” tanpa system yang ditetapkan-Nya.
Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan dengan hukum-hukum atau takdir dan sunatullah
yang ditetapkan-Nya.[17]
Dalam mewujudkan kehendak-Nya, Dia
tidak membutuhkan apapun.
إِنَّمَآأَمْرُهُ
إِذَآأَرَادَ شَيْئًا أَن يَقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ {82}
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah
berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.” (
QS.Yasin [36]: 82 )
Kata ( أمره) amruhu terambil
dari kata (أمر ) amr. Ia dapat
berarti perintah dan dapat juga berarti keadaan. Ulama sepakat
menyatakan bahwa ayat ini berbicara tentang kuasa Allah yang tidak dapat
terlukiskan dengan kata-kata. Karena kekuasaan-Nya tidak dapat dibatalkan atau
dielakkan. Untuk mewujudkan sesuatu Dia hanya memerintah, dan perintah-Nya itu
terlaksana dengan sangat mudah, dan sesuatu yang dikehendaki-Nya sertamerta
wujud dengan sangat cepat, semuadah dan secepat kata kun – bila yang
mengungkapkannya – bahkan lebih mudah dan cepat. Penjelasan tersebut mengantar kita memahami
kata amr dalam arti pemerintahan.
Tharir
Ibn’Asyur memahami kata amr dalam arti keadaan. Menurutnya makna ini lebih
tepat dengan konteks keraguan kaum musyrikin atas kuasa Allah menghidupkan
kembali tulang belulang yang telah hancur. Maknanya menurut ulama ini “ Tiada
keadaan bagi Allah saat Dia hendak menciptakan suatu ciptaan, kecuali
ketetapan-Nya untuk menciptakan sesuatu itu. Penggalan ayat diatas melukiskan
ketetapan-Nya itu dimana sesuatu yang hendak Dia wujudkan langsung terjadi –
melukiskannya – dengan kata كن
(kun). Ini untuk menjelaskan bahwa untuk mewujudkannya. Dia tidak
menggunakan tangan, tidak juga alat, atau mengolah atau mengadon suatu bahan
seperti yang dilakukan oleh pekerja. Ini karena kaum musyrikin mengira bahwa
hari Kebangkitan tidak bisa terjadi karena bahan untuk menjadikannya tidak ada
lagi.
Firman-Nya:
(كن فيكون ) kun fa yakun memberi ilustrasi bahwa
jika Allah hendak mencipta sesuatu, maka itu dapat terjadi seketika dengan
cepat. Ayat diatas hanya bermaksud memberi ilustrasi tentang kuasa-Nya dan
tiadanya kebutuhan-Nya kepada sesuatu apapun.[18]
Tetapi ini bukan juga berarti bahwa
Allah membutuhkan kata “Jadilah”; ayat ini hanya bermaksud menggambarkan bahwa
pada hakikatnya dalam mewujudkan sesuatu Dia tidak membutuhkan apapun. Ayat ini
juga berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakan-Nya tercipta dalam sekejap,
tanpa proses, sesuai dengan kehendak-Nya.[19]
4.
Keesaan dalam beribadah kepada-Nya
Kalau ketiga keesaan di atas
merupakan hal-hal yang harus diketahui dan diyakini, maka keesaan keempat ini
merupakan perwujudan dari ketiga makna keesaan terdahulu. Ibadah itu beraneka
ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu ragamnya yang paling jelas adalah
amalan tertentu yang ditetapkan cara atau kadarnya langsung oleh Allah atau
melalui rasulNya, yang secara popular dikenal dengan istilah ibadah mahdhah.
Sedangkan ibadah dalam pengertian secara umum, mencangkup segala macam
aktifitas yang dilakukan demi karena Allah.[20]
Pengakuan atas keesaan Allah telah
ditunjukkan dalam berbagai ayat al-Qur’an dan sunah rasul. Mengesakan tuhan
dalam beribadah, menuntut manusia untuk melaksanakan segala sesuatu demi karena
Allah, baik sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdha (murni) atau selainnya.
Alhasil, keesan Allah dalam beribadah kepada-Nya adalah dengan melaksanakan apa
yang tergambar dalam firmanNya.
قُلْ
إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {162}
“ Katakanlah “ Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku, dan matiku ( semuanya) karna Allah, pemelihara seluruh
alam.” (QS. Al-An’am [6]: 162)
Seorang mukmin sejati seharusnya
menjadikan Allah sebagai inti pengalaman keagamaannya. Kalimat syahadah berupa
pengakuan penerimaan islam menegaskan bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Allah
menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan tindakan dan pemikiran setiap
muslim. Kehadiran Allah mengisi kesadaran muslim setiap waktu kapanpun dan
dimanapun. Setiap perbuatan dan tindakan nya mengacu kepada Allah, artinya
perbuatan apa saja yang dilakukan supaya dia menjadi ibadah yang harus
disandarkan kepada Allah. Contohnya, seorang pedagang agar kegiatan
perdagangnnya bernilai ibadah ia harus berniat berdagang itu karena Allah. Niat
ini juga berfungsi sebagai pemelihara dirinya dari berbuatan kecurangan karena
segala kecurangan yang dilakukan diketahui oleh Allah maka dengan ini ia merasa
takut berbuat curang.
C.
Hanya Allah yang Layak Disembah
Banyak ayat yang telah memaparkan
sekian banyak bukti kekuasaaan dan keesaaan Allah serta kebenaran rasul-Nya,
Hanya Allah yang layak disembah namun kaum musyrikin masih juga menyembah
berhala dan menolak kebenaran.
هُوَ
اللهُ الَّذِي لآَإِلَهَ إِلاَّهُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ
الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ {22}
“ Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia,
yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha
penyayang.” (QS. Al-Hasyr :22)
Maksudnya adalah,
wahai sekalian manusia, sesungguhnya zat yang ditakuti oleh gunung adalah Allah
SWT. tidak ada ibadah dah uluhiyyah selain bagi-Nya. Dialah yang mengetahui
apa-apa yang tidak tampak yang berada di langit dan di bumi. Dia juga
menyaksikan apa yang dapat dilihat dikeduanya.[21]
Ahli tafsir
mengatakan bahwa Allah SWT mengasihi dunia dan akhirat namun dia hanya
menyanyangi orang-orang yang beriman kepadaNya.[22]
Menurut Prof Dr
Hamka berpendapat bahwa ayat ini pokok pegangan seseorang. Segala perhatian dan
ingatan ditunjukkan kepada Nya, Allah Tuhan yang satu. “Yang Maha Mengetahui
yang ghoib dan yang nyata.” Oleh karena Allah itu meliputi akan segala ruang
dan segala waktu,niscaya bagi Allah sama saja diketahuinya yang ghaib dan yang
nyata. Sedang bagi kita sebagai makhluk lebih banyaklah yang ghaib daripada
yang nyata. Bahkan apa yang disangka nyata itu, bagi kita pun masih ghaib.[23]
Ibnu Abbas
berkata maksud dari ayat ini yaitu “ Yang mengetahui yang tersembunyi dan yang
nampak”. Menurut satu pendapat, yang mengetahui yang telah akan terjadi.
Sedangkan, pendapat lain yang dimaksud al-ghaib adalah sesuatu yang tidak
diketahui oleh hamba-hamba dan tidak mereka saksikan dengan jelas, sedang yang
dimaksud dengan as-syahadah adalah apa yang mereka ketahui dan saksikan
وَللهِ يَسْجُدُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلاَلُهُم بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ
“ hanya kepada Allah –lah sujud
(patuh) segala apa yang dilangit dan di bumi,baik dengan kemauan sendiri
ataupun terpaksa (dan sujud pula) baying-bayangannya diwaktu pagi dan petang
hari.” (QS Ar-Ra’du [13]: 15)
Setelah Allah
SWT membuktikan bahwa kekuasaan dan wewenang hanya milik-Nya dan bahwa Dia
telah menyempurnakan syariat agama-Nya, memelihara rasul-Nya, maka perintah
ditujukan kepada kaum beriman agar melaksanakan misi mereka yaitu beribadah
kepadanya. Sebagai bentuk penghambaan dan rasa syukur,
وَمَاخَلَقْتُ
الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ {56}
“Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS
Adz-Zari’at [51]:56).
Salah satu
bentuk perwujudan ibadah kepada Allah SWT ialah dengan cara melakukan shalat,
sebagimana firman-Nya
إِنَّنِى
أَنَا اللهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي {14}
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah,
tidak ada tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dan dirikanlah
shalat untuk mengikat aku” (QS. Thaahaa :14).
Al-Maraghi,
menjelaskan dalam tafsirnya bahwa sesungguhnya kewajiban yang dibebankan kepada
orang mukallaf ialah mengetahui, bahwa tidak ada tuhan selain Allah semata, dan
Dia tidak mempunyai Hak dan tidak ada sembahan selain-Nya, maka beribadahlah hanya
kepada-Nya dan tunduklah kepada seluruh apa yang dia bebankan kepadamu.
Lakukanlah
sholat menurut aturan yang telah Allah perintahkan kepadamu dengan memenuhi
rukun dan syaratnya, agar di dalam shalat itu kamu mengingat Allah dan berdoa
kepada-Ku dengan doa yang tulus dan bersih tanpa dicampuri dengan syirik dan
tidak meghadaplan diri kepada selain Allah. Disebutkan shalat secara khusus
diantar ibadah yang lainnya, karena ia mempunyai keutamaan atas lainnya.
Didalam shalat orang mengingat tuhannya. Oleh sebab itu, shalat dapat mencegah
perbuatan keji dan mungkar. Ayat ini menjelaskan pentingnya pelaksanaan shalat
setelah tauhid. Ini merupakan peringatan tentang besarnya perkara shalat karena
shalat merupakan ketundukan kepada Allah dan menghadap kepadaNya.[24]
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا
الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {77}
“ Hai orang-orang yang beriman, ruku’ lah
kamu , sujud lah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu
mendapat kemenangan.” (QS Al-Hajj [22]: 77)
Ayat ini secara
umum telah mencangkup semua tuntutan islam, dimulai dari akidah, yang ditandai
dengan penamaan mereka yang diajak dengan alladzina amanu, selanjutnya
dengan menyebut dua rukunnya yaitu ruku’ dan sujud. Penyebutan shalat secara
khusus karena ibadah ini merupakan tiang agama, dan siapa yang mengabaikannya
maka ia telah meruntuhkannya. Setelah itu disebutkan aneka ibadah yang dapat
mencangkup banyak hal, bahkan dapat mencangkup aktifitas sehari-hari jika
motivasinya adalah mencari ridho Illahi, dan akhirnya ditutup dengan perintah
berbuat kebajikan yang menampuk seluruh kebaikan duniawi dan ukhrawi, baik dan
berdasarkan wahyu maupun nilai-nilai yang sejalan dengan tujuan syari’at. Baik
ia berupa hokum dan undang-undang maupun dan tradisi dan adat-istiadat. Jika
hal-hal diatas dipenuhi oleh suatu masyarakat tidak diragukan pastilah mereka
secara individu atau kelompk akan meraih keberuntungan yakni meraih apa yang
mereka harapkan di dunia dan diakhirat.[25]
D. Larangan
Menyekutukan Allah
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa selain ( syirik ) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
besar”. ( QS. An-Nisa [ 4 ]: 48 )
Ayat ini telah menerangkan dengan
jelas bahwa bagi setiap orang yang telah melakukan dosa besar, maka ampunan
semata-mata kehendak Allah, jika Dia menghendaki maka dihilangkan dosa
tersebut, dan jika Dia menghendaki maka diberikan hukuman kepada orang yang
telah melakukan dosa besar tersebut, selama perbuatan dosa besar tersebut bukan
perbuatan syirik.[26]
Ayat ini menunjukan bahwa
menyekutukan Allah adalah penghianatan terbesar dibidang akidah. Dan dalam ayat
ini juga menunjukan bahwa dosa syirik merupakan dosa yang terbesar, karena
bukti-bukti keesaan-Nya sedemikian gambling dan jelas terbentang di alam raya,
bahkan dalam diri manusia sendiri. Dengan ketetetapan tidak mengampuni dosa
syirik, Allah SWT.menggariskan bagi setiap mahluk untuk mengakui-Nya sebagai
penguasa tunggal, tiada sekutu bagi-Nya, dan bila itu telah disekutukan maka
yang bersangkutan telah masuk ke dalam korisor keamanan dan sudah terpelihara
jiwa, raga, harta dan kehormatannya, berdasar ketetapan-ketetapan yang berlaku.
Adapun pengampunan Allah terhadap
dosa-dosa selain syirik maka ini terjadi dengan berbagai jalan, bisa jadi
dengan syafa’at para nabi, malaikat, atau amal-amal kebajikan seseorang atau
bahkan semata-mata karna sifat-Nya Yang Maha Pengampun.[27]
Adapun ayat
lain yang menjelaskan tentang larangan yaitu QS. An-Nisa [4]:116
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًۢا بَعِيدًا
﴿١١٦﴾
Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia
mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh, dia telah tersesat jauh
sekali.
Tidak
terdapat dalam redaksi, yaitu kalimat ini (افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا) sengaja berbohong yang
merupakan dosa yng besar karena ini dikemukakan dalam konteks pembicaraan
tentang kaum musyrikin Mekkah dan orang-orang Arab yang pada dasarnya tidak
memiliki pengetahuan yang cukup, berbeda dengan orang Yahudi yang kekufuran dan
kemusyrikan mereka bukan akibat ketidaktahuan, bahkan mereka tahu melalui nabi
dan kitab suci mereka, tetapi karena dengki dan hasad, mereka dengan sengaja
berbohong.[28]
E.
Hikmah Mengetahui Makna Iman Kepada ke-Esaan Allah
1.
Memperluas wawasan berfikir manusia terhadap eksitensi Allah dan
kekuasaannya didalam alam semesta
2.
Menambah semangat hidup seseorang karna ia meyakini adanya Tuhan
yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat Nya.
3.
Menghilangkan sifat sombong dari diri seseorang karna dia
mengetahui bahwa Allah lah yang Maha Esa dan Maha Tinggi.
4.
Membuat seseorang menjadi tenang dan tentram dengan cara kita
mengingat sifat-sifat Nya.
5.
Orang yang beriman akan selalu sabar, tawakkal dan berani
menyuarakan yang benar
6.
Orang yang beriman akan selalu mendapat bimbingan dari Allah, oleh
karna itu apa yang dilakukannya adalah perbuatan-perbuatan baik dan terpuji.
7.
Akan menambah semangat seseorang untuk selalu melakukan
amalan-amalan sholeh, rendah hati, kasih saying terhadap sesame manusia, bahkan
terhadap semua makhluk ciptaan Allah, baik hewan atau tumbuhan-tumbuhan.
[1]Bediuzzaman Said Nursi, Al-Ayat Al-Kurba: Menemukan Tuhan Pada
Wajah Alam Semesta, ( Jakarta : PT Fajar Interpratama Offset, 2009 ), hal.
104
[2] M. Quraish Shihab, Islam Yang Saya Anut (Dasar-dasar Ajaran
Islam), (Tangerag: Lentera Hati, 2018), hal. 140-141.
[3] M. Quraish Shihab, Al-Asma’ Al-Husna Mengenal Nama-Nama Allah,
(Tangerang: Lentara Hati, 2013 ), hal. 25
[4]Faizah Ali Syimbromalisi, Tafsir Aqidah, ( Ciputat : UIN
Jakarta Press, 2016 ), hal. 8
[5] M. Quraish Shihab, Al-Asma’ Al-Husna Mengenal Nama-Nama Allah,
(Tangerang: Lentara Hati, 2013 ) hal. 26
[6]Faizah Ali Syimbromalisi, Tafsir Aqidah, ( Ciputat : UIN
Jakarta Press, 2016 ), hal. 9
[7] Faizah Ali Syimbromalisi, Tafsir Aqidah, ( Ciputat : UIN
Jakarta Press, 2016 ), hal. 9-10
[8] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari,
penerjemah. Ahsan Askan, Khairul Anam, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2009 ),
hal.951
[9] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari,
penerjemah. Ahsan Askan, Khairul Anam, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2009 ),
hal.952
[10]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, ( Jakarta : Lentera Hati ), vol.8, hal. 362
[11] Faizah Ali Syimbromalisi, Tafsir Aqidah, ( Ciputat : UIN
Jakarta Press, 2016 ), hal. 10-11
[12]M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, ( Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2007 ), hal. 44
[13] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari,
penerjemah. Ahsan Askan, Khairul Anam, jilid 21, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2009 ), hal.515
[14] Ash-Shabuni, Syaikh Muhammad Ali,
Shafwatut Tafsir; Tafsir-Tafsir pilihan, jilid 4, penerjemah: KH.
Yasin, ( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011 ), hal. 340
[15] M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, (
Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007 ), hal. 45
[16] Faizah Ali Syimbromalisi, Tafsir Aqidah, ( Ciputat : UIN
Jakarta Press, 2016 ), hal. 12-13
[17] M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, (
Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007 ), hal. 46
[18] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, ( Jakarta : Lentera Hati ), vol.11, hal. 580-581
[19] M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, (
Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007 ), hal. 46
[20] M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, (
Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007 ), hal. 47
[21] Faizah Ali Syimbromalisi, Tafsir Aqidah, ( Ciputat : UIN
Jakarta Press, 2016 ), hal. 19
[22] Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, penerjemah: Dudi
Rosyadi,dkk, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2009 ), hal. 990-991
[23] Hamka, Tafsir al-Azhar, ( Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985
), juz 28, hal 81
[24] Faizah Ali Syimbromalisi, Tafsir Aqidah, ( Ciputat : UIN
Jakarta Press, 2016 ), hal. 21
[25] Faizah Ali Syimbromalisi, Tafsir Aqidah, ( Ciputat : UIN
Jakarta Press, 2016 ), hal. 22
[26] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari,
penerjemah. Ahsan Askan, Khairul Anam, jilid 7,
( Jakarta : Pustaka Azzam, 2009 ), hal.173
[27] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, ( Jakarta : Lentera Hati, 2011), vol.2, hal. 564-567
[28] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, ( Jakarta : Lentera Hati, 2011), vol.2, hal. 719
Komentar
Posting Komentar